[caption caption="Sandal Jepit Mas-Mas Tukang Loak (Sumber: liputan6.static6.com)"][/caption]
Skripsiku: Mau Dibilang Baper Ya Terserah
Beberapa media online yang sempat saya buka kemarin cukup heboh memuat postingan foto penyiangan skripsi, tesis, dan desertasi. Konon katanya, alasan pihak kampus adalah demi pemutakhiran dan kapasitas gedung yang tak lagi cukup. Beragam tanggapan muncul karena memang mulanya tidak ada press release. Yang terpampang adalah foto orang yang memilah dan merapikan skripsi tersebut dari karung-karung yang disulam sedemikian rapi. Setelah ada release klarifikasi, baru saya tahu kalau "demi mudah"nya, skripsi itu dilempar dari lantai 4 gedung perpustakaan.
[caption caption="Skripsi yang Terbuang (Sumber: s.kaskus.id/images/2016/03/02/4132175_20160302065753.jpg)"] [/caption]
Saya kontan tersenyum. Tersenyum karena meski tidak manis-manis amat, saya masih bisa mengungkapkan kegelisahan saya dengan senyuman. Bayangkan saja, skripsi sebenarnya menjadi momen yang menandai bahwa seorang mahasiswa belajar mandiri, meneliti, dan mempertanggungjawabkannya di depan sidang terbuka dengan penguji. Dan kini, dilebur jadi bubur kertas? Ah, saya kok merasa sungguh keterlaluan.
Untuk ukuran mahasiswa normal (maaf karena ada juga mahasiswa yang betah nangkring di kampus hingga bertahun-tahun) biasanya skripsi diajukan dengan proses yang tak mudah. Di beberapa kampus, ada yang memberlakukan seminar. Sementara itu, ada pula yang memberlakukan pengajuan tema. Jangan dipikir ini mudah. Dosen pun kritis. Apa yang mau ditulis, antara ide dan pustaka, harus sebanding. Kalau tidak demikian, habis amunisi sebelum skripsi itu diakhiri dengan simpulan. Maka, tak heran, pada permulaan ini saja seorang mahasiswa harus mulai tertib menata ide-ide penulisan.
Saya adalah mantan mahasiswa teologi-filsafat. Konon katanya, ilmu ini ada kaitannya dengan Theos (Tuhan) dan dunia filosofis. Karena pentingnya skripsi, saya sudah mempersiapkan amunisi yang cukup pula untuk memulai penulisannya. Mulai dari memilih dosen pembimbing dan mengajukan tema penelitian, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Namun ketika harus mulai menulis, "Wooowww..." sungguh menjadi momen luar biasa. Saya tidak saja berhadapan dengan teks-teks yang harus diteliti, ide-ide yang harus ditata, tetapi juga fluktuasi niat. Ada ide, niat nggak ada, ya malas berhadapan dengan komputer. Ada niat, nggak ada ide, yang terjadi ya cuma internetan. Nggak mudah lho konsisten nulis dengan kaidah ilmiah, SPOK dan EYD-nya tepat. Belum kalau sudah jadi, janjian dengan dosen pembimbing, menunggu koreksi, mendengar wejangan dan tuntunan dosen.
Koreksi yang sebenarnya sudah dirapikan pun kadang tak lepas dari koreksi ulang. Entah idenya yang belum dituliskan dengan lugas, entah SPOK-nya yang kadang belum tepat pemenggalannya, entah catatan kaki yang belum ditulis dengan baik, semuanya perlu dilihat ulang. Prinsipnya, proses penulisan skripsi saya mau tak mau harus dijalani step by step. Tidak ujug-ujug jadi.
Begitu jadi pun, tak lalu saya harus berpangku tangan. Saya diwajibkan membuat ringkasan dan presentasi. Kala itu, meski saya bukan mahasiswa yang kategorinya smart, saya sudah cukup senang karena tidak pernah melampaui deadline, baik pengumpulan materi per bab maupun pengumpulan skripsi dalam bentuk dummy. Lagi, dengan membuat ringkasan, saya pun sangat terbantu dengan atmosfer belajar di asrama. Biasanya, jelang ujian skripsi, dibuatlah suatu "sidang terbuka" di depan teman-teman asrama untuk mempresentasikan apa yang telah saya tulis itu. Puji Tuhan, ini pun membantu mempersiapkan ujian skripsi.
Hari H pun terlewatkan dengan baik. Di depan dua penguji, saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis ini dengan berani, mantap, dan lugas. Di hadapan dosen pun, saya berani mengungkapkan kegelisahan yang telah saya tulis itu. Bahkan, sempat pula dosen pembimbing memberi kesempatan untuk presentasi pada sesi kuliah yang diampunya. Maka dari itu, ujian skripsi bukan saja saya siap, tetapi sungguh-sungguh sangat dibantu untuk menangkap gagasan-gagasan pokok yang seharusnya saya teliti dan saya kuasai. Tak berlebihan tentu, sidang skripsi bukanlah momok, bukan pula killzone dosen killer.
Pulang dari ujian skripsi, kegembiraan saya bertambah. Bukan saja karena saya menggondol nilai A, tetapi ada adik kelas saya yang rela "nraktir" semangkok bakso dan jus di warung bakso "Wong Solo" dekat asrama. Maklumlah ritme kehidupan asrama. Beberapa memang tidak dapat mempertanggungjawabkan skripsi dengan baik karena momok dosen killer dan seramnya sidang skripsi. Untuk alasan ini pulalah, mungkin adik kelas saya ini menantang saya dengan gagah berani untuk taruhan semangkok bakso dan segelas jus. Dapat nilai B, berarti saya harus nraktir. Dan, saya menghargai tantangan itu dengan memperkenankannya berbuat baik pada saya. Bukan begitu, bro? (nanti saya tag di FB) Hehe....