Pada suatu hari saya naik angkot. Angkot tersebut sepi karena imbas tidak adanya anak sekolah bersama orang tuanya, sebab masih menerapkan pembelajaran secara online dari HP atau komputer masing-masing. Ketika saya tanyakan kepada supir angkot tersebut tentang dampak resesi yang dia alami, dia mulai mengeluh. Supir tersebut sering tidak bisa pulang bawa uang, sebab uang yang didapat sudah habis untuk beli bensin, tak ada lebihnya buat dia.
Sudah begitu, dia tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah sebab RT dan RW di tempat tinggalnya tidak mau membantu mendaftarkannya sebagai penerima bantuan. Malah ada tetangganya yang punya motor bagus dan istrinya yang suka pakai gelang dan cincin emas berpuluhan gram di tangannya dapat bantuan Pemerintah, sebab mereka merupakan kerabat dari RT dan RW tersebut. Sehingga RT dan RW tersebut pilih kasih.
Setelah angkot berjalan menyusuri sebuah jalan kecil, nampaklah disisi jalan sebuah toko keripik yang terkenal lengkap dan murah harganya. Disitu dijual keripik serba Rp. 2.000,- dan menjual keripik kemasan bal-balan juga. Banyak orang berbondong-bondong ke toko itu, memakai keranjang seperti di supermarket, dan beli keripik serba 2 ribu itu sampai sekeranjang penuh.
Ada juga yang beli bal-balan pakai motor atau mobil. Sangat aneh di lokasi yang sunyi itu bisa ada toko keripik yang laris manis, termasuk di masa pandemi dan resesi seperti ini. Di tengah pelaku usaha lain termasuk toko keripik lain sepi pembeli, toko yang satu ini tetap ramai dan pegawainya pun kewalahan melayani pembeli. Toko tersebut sama sekali tidak terkena dampak resesi ekonomi.
Penjualnya adalah seorang ibu sangat tambun, kalau berjalan ngegeboy, maka ia lebih sering bertakhta di singgasananya yang dilaci mejanya bertumpuklah uang merah biru yang tak terhitung banyaknya. Wajah ibu tambun itu sangat mengerikan, make up nya tebal alias melok-melok, di lengannya ada gelang kerincing yang banyak sekali, dan ia sangat tidak ramah kepada para pembeli.
Setiap pembeli yang mau bayar harus berhadapan dengan ibu tambun itu. Ibu tambun itu sangat pelit, minta kresek saja tidak dikasih. Tetapi meskipun pelayanannya jauh dari baik, pelanggannya sangat banyak dan tidak pernah berkurang.
Ketika angkot tersebut melintas di depan toko keripik tersebut, saya bertanya kepada supir angkot itu, “Pak, kenapa ya toko itu banyak aja yang beli?” Jawab supir angkot tersebut, “Biasalah, kan pakai ‘bumbu’.” Ya iyalah, kan keripik pasti pakai bumbu seperti garam, bubuk cabe, dll “Maksudnya ‘bumbu’ itu pakai penglaris. Dukun maksudnya! Lihat saja dandanannya aneh, make up nya melok-melok kayak pocong. Sudah pastilah yang kayak gitu pakai dukun. Lihat nanti di depan ada penjual mie ayam juga pakai dukun. Mienya biasa-biasa saja rasanya tapi yang beli banyak sekali, itu pakai dukun.” jawab sang supir.
Setelah terdiam sebentar, saya bertanya, “Kenapa ya pak, kalau yang pakai dukun itu bisa sukses dan kaya, kalau yang pakai berdoa kayak nggak bisa sukses?” Jawab supir itu, “Nggak tau mas...”
Cerita dan fakta seperti di atas bukanlah kisah baru di Indonesia. Di dalam masa resesi seperti ini, banyak pelaku usaha mengalami penurunan pendapatan, terancam bangkrut atau sudah bangkrut. Tetapi memang ada beberapa pelaku usaha yang tetap laris manis, bahkan tambah laris saja. Kemungkinan besar yang demikian menggunakan dukun alias penglaris alias pesugihan.
Biasanya yang menggunakan beginian adalah ketika pelayanan, kualitas, dan harga tidak sebanding untuk menarik perhatian konsumen, tetapi karena ada keterpikatan gaib akhirnya banyak pengunjung ketagihan mengkonsumsi produknya dan menghabiskan uangnya disitu. Lalu apa yang menjadi sebab orang menggunakan penglaris? Semudah itukah memakai penglaris? Sebesar itukah kuasa jahat sehingga bisa mendatangkan kekayaan?
Banyak faktor penyebab orang memakai penglaris atau pesugihan. Tetapi yang sering terjadi adalah karena kepepet. Ia mungkin sedang terlilit hutang yang sangat besar, rumahnya dan segala isinya bisa disita bila tidak melunasi hutangnya. Ia sudah berdoa komat-kamit kepada-Nya minta rejeki, tapi Ia tidak memberikannya.