Lihat ke Halaman Asli

Deni Mildan

Geologist, Dosen

Dulu Diperlakukan Berbeda, Kini Saling Menerima

Diperbarui: 8 April 2021   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Victoria Borodinova from Pexels

Saya dilahirkan dikeluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan kami, dua orang anak laki-laki yang hanya terpaut usia 2 tahun. Lucunya meski memiliki wajah yang jauh berbeda, kami kerap dikira anak kembar karena ciri khas berpakaian yang sama: celana pendek dan kaos bergambar super sentai berwarna gelap.

Seingat saya masa kecil kami sangat menyenangkan. Kami cukup kompak dalam hal permainan dan kenakalan, misalnya sama-sama suka menghiasi dinding rumah dengan coretan pensil dan bolpoin, menabrakkkan sepeda roda tiga ke kursi dan meja, dan menjatuhkan diri ke selokan tanpa alasan. Tapi jika ditelaah lagi, mungkin tindakan-tindakan di atas berasal dari saya yang petakilan lalu ditiru adik saya yang lebih kecil, hehe.

Memasuki usia sekolah, perbedaan mulai terlihat jelas di antara kami. Saya yang lebih tertarik dengan kegiatan akademik lebih banyak menghabiskan waktu untuk ‘melahap’ buku-buku pelajaran. Adik saya tidak terlalu suka duduk lama membaca buku karena memiliki kecenderungan pada kegiatan-kegiatan fisik seperti olahraga dan kesenian. Karena masih kecil dan belum mengerti banyak hal, saya kadang merasa cemburu karena ibu lebih ketat mengatur jam belajar kepada saya dibandingkan si bungsu.

Ibu seringkali meminta bantuan saya untuk bekerja di dapur, mulai dari sekedar membalikkan tempe goreng di wajan hingga mengaduk adonan kue dengan mixer.

“Kenapa sih Aa terus yang bantuin di dapur?”, keluh saya kepada Ibu.

Ibu tidak memberikan alasan yang jelas, hanya mencoba menenangkan saya dengan bilang bahwa nanti ia akan meminta bantuan secara bergantian.

Tidak berbeda dengan Ibu, Ayah pun memperlakukan kami dengan cara yang berlainan. Ayah yang hobi bercocok tanam di belakang rumah, lebih sering meminta bantuan adik saya untuk mengambilkan alat berkebun dan menemaninya beraktivitas. Karena merasa di nomor duakan dalam urusan luar ruangan, saya kadang tak acuh saat Ayah memanggil dan meminta bantuan.

Rasa cemburu yang semakin bertambah akhirnya berdampak pada perlakuan saya terhadap adik. Saya sering kali kesal dan memarahinya saat ia menangis atau mencelakakan dirinya sendiri. Kritik saya layangkan saat ia menghabiskan uang jajannya untuk hal-hal yang tidak penting. Saya merasa seperti satu-satunya orang yang harus bersikap dengan benar, sementara adik saya bisa bertindak seenaknya. Saling ejek akhirnya berujung pertengkaran beberapa kali.

Saya bahkan pernah memarahinya di depan orang tua cuma gara-gara ia ketinggalan bus

Beberapa tahun berselang, kami melanjutkan studi ke Semarang, terpisah di kampus kami masing-masing. Adik saya yang berkuliah di Politeknik Ilmu Pelayaran harus berada di asrama selama dua tahun sebelum lanjut magang di perusahaan pilihannya. Kondisi tersebut membuat intensitas pertemuan kami sangat minim. Pada saat itulah saya merasakan ada sesuatu yang hilang. Saya merindukan keberadaannya.

Pada masa-masa itu, saya banyak menimba pengalaman dari berbagai aktivitas di dalam dan di luar kampus. Bertemu banyak orang baru membuat saya jadi lebih legowo dalam perbedaan. Saya yakin itu pula yang adik saya alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline