Lihat ke Halaman Asli

Deni Mildan

Geologist, Dosen

"Kongo": Sejatinya Manusia Itu Rapuh

Diperbarui: 9 Februari 2021   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokumentasi pribadi

Hobi membaca telah membawa saya menjelajahi berbagai genre buku, mulai dari yang romantis hingga horor. Akan tetapi dari sekian banyak buku yang rampung dibaca, "Kongo" merupakan yang pertama menampilkan kegiatan eksplorasi mineral sebagai inti cerita. Karya Michael Crichton (yang juga penulis Jurassic Park) ini menjadi magnet tersendiri bagi saya yang seorang geologiwan.

Seperti judulnya, "Kongo" mengambil latar tempat di sebuah negara di Afrika Tengah yang dulu dikenal sebagai Zaire ini. Kongo yang berada di wilayah Great Valley Rift, sebuah calon lempeng tektonik baru yang gagal berkembang, telah didatangi banyak tim ekspedisi asing untuk memperoleh informasi mengenai endapan mineral berharga. Sejak dulu Kongo memang dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil kobalt dan intan terbesar dunia.

Tim ekspedisi Earth Resources Technology Services (ERTS) terdiri dari Dr. Karen Ross seorang ahli matematika dan informatika, Charles Munro seorang mantan tentara bayaran yang kerap memandu tim ekspedisi dari berbagai negara, Dr. Peter Elliot seorang ahli primata, dan beberapa orang lokal sebagai pengangkut barang. Mereka ditugaskan untuk menginjakkan kaki di sumber primer endapan intan Pegunungan Virunga, bagaimanapun caranya.

Yang unik dari tim ekspedisi tersebut adalah kehadiran seekor gorila betina di tengah-tengah rombongan. Amy adalah gorila cerdas yang mampu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan manusia. Amy diikutsertakan karena diharapkan mampu mengatasi masalah yang menewaskan seluruh anggota ekspedisi ERTS sebelumnya: serangan gorila.

Untuk mencapai lokasi target tim ekspedisi harus menempuh jarak ratusan kilometer dengan berjalan kaki, melintasi hutan tropis yang benar-benar asing dan jauh dari peradaban. Persenjataan dan perbekalan tidak lupa mereka siapkan untuk menghadapi kemungkinan sabotase pihak lawan, baku tembak dengan prajurit Kongo, suku kanibal, dan tentu saja gorila. Waktu pun tidak banyak karena sewaktu-waktu lahar dan abu gunungapi di sekitar titik tujuan dapat mengubur mereka hidup-hidup.

Alur campuran sepanjang cerita terasa sangat halus. Kejadian masa kini selalu berhubungan dengan latar belakang kisah salah satu tokoh atau riwayat penelitian saintifik sehingga hampir tidak ada plothole yang mengganjal. Sebagai contoh, Amy yang menguasai bahasa isyarat bukan hal yang ajaib karena secara saintifik spesies primata lain juga pernah dilatih dan dapat berkomunikasi dengan gerak tangannya.

Karakter-karakter sentral dalam cerita digambarkan sifatnya dengan cukup baik. Pembaca dapat merasakan sifat Ross yang ambisius, Munro yang cerdas dan memiliki jiwa pemimpin, serta Elliot yang kutu buku dan kelabakan saat pertama kali terjun ke lingkungan gorila liar.

Dari sudut pandang ilmu kebumian, tatanan geologi di daerah Kongo digambarkan dengan cukup akurat. Proses pembentukan intan primer, kenampakannya di lapangan, serta kegiatan eksplorasinya secara umum disampaikan secara tepat dengan bahasa populer yang mudah dipahami pembaca. 

Secara tersirat penulis sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa secanggih apapun teknologi yang dimiliki manusia tidak ada artinya jika dibandingkan dengan alam dan seisinya. Manusia sering beranggapan dirinya mampu menguasai segala hal, padahal sejatinya manusia itu rapuh. "Satu sentuhan kecil" mampu membuat manusia jatuh tak berdaya.

Informasi Buku

Judul                    :Kongo

Penerjemah      :Hendarto Setiadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline