Lihat ke Halaman Asli

Deni Mildan

Geologist, Dosen

Tantangan Suami Siaga di Tengah Pandemi

Diperbarui: 26 April 2020   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: muntahankata.wordpress.com

“Sekali-sekali saya juga ingin membagikan pengalaman pribadi tentang beberapa peristiwa yang saya alami”

Saya ingat betul, waktu itu saat duduk di bangku sekolah dasar. Televisi 21 inci di rumah seketika menayangkan iklan layanan masyarakat dengan tema “Suami Siaga”. Tampak seorang pria berperan sebagai suami mengantarkan istrinya ke tempat persalinan (entah bidan atau rumah sakit) dengan menumpang becak. Saya yang baligh pun belum hanya menganggap tayangan tersebut angin lalu. Tidak terbayang bahwa suatu hari sang Suami Siaga adalah saya sendiri.

Selama kehamilan pertama istri, menjadi Suami Siaga kelihatannya tidak terlalu sulit, pikir saya. Rutinitas hanya berada di seputar mengantar istri periksa ke dokter, memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil, belanja kebutuhan bayi, dan belajar serba-serbi parenting. Namun rupanya anggapan itu berakhir ketika pandemi Covid-19 melanda hingga akhirnya bersinggungan dengan bulan Ramadhan. Saya pun mengalami beberapa tantangan dalam menjalankan peran sebagai Suami Siaga.  

Mobilitas Terbatas

Menurut Community Mobility Report Google yang terkahir diperbaharui pada 23 April 2020, terjadi penurunan tingkat mobilitas masyarakat yang cukup signifikan selama masa pandemi Covid-19 berlangsung. Tingkat penurunan paling tinggi dialami sektor transportasi publik sebanyak 58%. Sejalan dengan penurunan aktivitas di luar rumah, mobilitas masyarakat di sekitar lingkungan rumah bertambah sebanyak 18%.

mob-1-5ea55b62097f3674ae284292.png

Sumber: https://www.google.com/covid19/mobility/

Penurunan mobilitas ini terjadi akibat pemberlakuan himbauan physical distancing dan kebijakan lain yang mengharuskan segala aktivitas dilakukan di rumah. Mau tidak mau himbauan pemerintah perlu dilaksanakan untuk mempercepat penanganan dan memutuskan rantai penularan Covid-19. Suami Siaga tidak lagi bisa keluar rumah sekedar berbelanja susu dengan leluasa meski dengan menggunakan kendaraan pribadi. Ada banyak prosedur yang menghalangi mulai pemeriksaan di posko siaga desa hingga penutupan jalan utama di kawasan pusat kota.

Pembatasan Pasien

Dokter yang menangani istri saya membuka tempat praktek di sekitar salah satu rumah sakit besar di Kuningan. Pada kondisi normal pasien dengan keluhan ataupun tidak diterima pada jam praktek. Akan tetapi, kondisi tersebut berubah saat belakangan tersiar berita salah satu pasien positif Covid-19 dirawat di rumah sakit tersebut.

Klinik melakukan tindakan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 dengan membatasi jumlah pasien. Pasien tanpa keluhan tidak diperkenankan memeriksakan diri. Istri dan bayi dalam kandungan memang tidak memiliki keluhan apapun sehingga kami harus mengurungkan niat bertemu dokter sore itu. Satu-satunya alternatif yang tersisa adalah bidan desa.

Belanja Kebutuhan

Karantina wilayah parsial yang diberlakukan pemerintah Kabupaten Kuningan di beberapa ruas jalan utama membuat banyak komplek pertokoan tutup lebih awal. Hal tersebut menyebabkan kegiatan belanja kebutuhan ibu hamil dan bayi menjadi lebih sulit. Entah bagaimana jadinya jika sampai karantina wilayah parsial diperluas atau diberlakukan PSBB di Kuningan. Untungnya beberapa kebutuhan penting tersedia di rumah sehingga tidak banyak yang mesti dibeli di luar sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline