KTP elektronik tak henti-hentinya menuai sensasi. Pada awal kemunculannya santer berita benda tersebut tidak boleh difotokopi karena akan merusak teknologi contactless card di dalamnya. Segala macam urusan yang berkaitan dengan salinan hitam putih KTP menggerutu. Pemindai belum umum digunakan saat itu. Kasus korupsinya lebih heboh. KPK berhasil menyeret Setya Novanto menjadi tersangka meskipun sering berkelit karena alasan kesehatan. Beberapa minggu lalu, nusantara kembali gaduh dengan ratusan KTP elektronik yang tercecer di jalanan, jatuh dari truk pengangkutnya yang tengah dalam perjalanan menuju gudang Kemendagri di Bogor.
Media bergerak cepat. Peristiwa KTP elektronik yang tercecer viral dimana-mana, mulai dari televisi, portal berita online, akun berita aplikasi chatting, hingga meme-meme tak bertuan yang menambahkan "bumbu penyedap" di sana sini. Berbagai pihak dimintai keterangan. Polres setempat, supir truk, pengendara yang kebetulan lewat dan membantu, hingga pejabat Kemendagri tidak luput. Puncaknya semua pihak dikompilasi, berkumpul dalam acara talkshow klub kumpulan pengacara yang dipandu tokoh jurnalis ternama.
Respon masyarakat beragam. Sebagian mengaitkannya dengan upaya ilegal pemenangan salah satu calon kepala daerah. Sebagian lainnya memiliki teori konspirasi skala besar: KTP elektronik "tambahan" disiapkan untuk agenda pemenangan pilpres. Opini tersebut masuk akal mengingat tidak jarang dijumpai kasus dan isu pemilih fiktif baik di tingkat daerah maupun nasional.
Kemendagri merespon. Lembaga yang berwenang menangani KTP elektronik tersebut memberikan klarifikasi bahwa KTP elektronik tersebut sengaja disimpan di gudang Kemendagri supaya dapat disusun rapih untuk keperluan audit suatu hari nanti. Akan tetapi, nampaknya argumen Kemendagri untuk menampik isu-isu miring yang berkembang di masyarakat ini tidak terlalu mujarab. Pandangan negatif terus bermunculan.
Media sosial menjadi forum paling kejam. Hal ini pernah diungkapkan Presiden Jokowi pertengahan tahun lalu dan sempat mengisi berbagai laman berita di berbagai media. Kritik "menggugah" dan kata-kata kasar menghiasi kolom komentar. Warganet bisa dengan mudah bersembunyi di balik akun dunia mayanya sehingga tidak perlu khawatir dengan dampak yang ditimbulkan komentar jahatnya.
Apakah ini stereotip?
Jika dipikirkan lebih lanjut, sadar-tidak sadar kita seringkali menilai sesuatu secara subjektif berdasarkan prasangka-prasangka yang diracik dari peristiwa-peristiwa mengecewakan yang telah lalu. Sebaik apapun upaya yang dilakukan pihak lain untuk meminimalisir kesalahan, kita selalu jeli melihat sisi buruk suatu hal kemudian melayangkan kritik pedas terhadapnya.
"Ah, pemerintah pasti kongkalingkong dengan pengusaha anu supaya bisnisnya dilancarkan" atau "Pasti ada permainan nih di balik kebijakan ini", adalah kalimat-kalimat yang umum terlontar di masyarakat. Begitu pun dengan kasus KTP elektronik ini.
Kita tak jarang sering terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Bukannya mengumpulkan seluruh informasi secara utuh, kita sering menarik interpretasi dari potongan kecil puzzle yang entah dimana posisinya. Bukankah jika demikian kesimpulan yang kita dapatkan pun terlalu dangkal? Oleh sebab itu kita perlu menelisik sebuah peristiwa secara objektif dari berbagai sisi. Bukan hanya objek pemberitaan yang harus menjadi fokus. Media massa sebagai jembatan informasi antara peristiwa dan masyarakat tidak boleh luput dari pengamatan.
Apakah anda pernah berpikir bahwa media massalah yang sebenarnya keliru memberitakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H