Lihat ke Halaman Asli

Deni Mildan

Geologist, Dosen

Cerpen | Gadis Bulan Purnama

Diperbarui: 16 September 2017   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesekali dilihatnya jam tangan kayu yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jarum-jarum berwarna kuning keemasan menunjuk angka 8 dan sedikit meleset dari angka 6. Pukul 17.40, sepuluh menit menjelang matahari terbenam. Wulan tak mempedulikan pengunjung lain yang beranjak menuju sisi barat taman kota untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Taman kota ini memang sangat menarik. Pengunjung bisa menikmati matahari terbit di pagi hari dan matahari terbenam saat senja karena taman ini berada di sebuah bukit kecil yang terisolasi dataran di sekitarnya.

Wulan duduk sendiri. Dalam keramaian hiruk pikuk pengunjung taman kota, ia menatap kosong langit senja cerah yang dihiasi beberapa gumpalan berawan berbentuk mirip biri-biri. Tubuh kurusnya bersandar di kursi bangku besi panjang di sisi timur taman. Wajahnya menampakkan kekhawatiran. Novel Sphere karya Michael Crichton, salah satu penulis kesukaannya pun tak lagi ia hiraukan.

Dalam lamunannya ia berpikir, "Seandainya saja aku tidak terlahir dari kedua orang tuaku, mungkin saat ini aku bisa menikmati matahari terbenam bersama teman-temanku. Atau barangkali pergi mendaki gunung dan menikmati senja hingga malam hari di bawah terangnya bulan purnama". Tanpa sadar langit jingga mulai tersapu kegelapan, disusul kemunculan bulan purnama yang semakin jelas terlihat di antara awan. Wulan bangun dari imajinasinya, bergegas memasukkan kembali novel yang belum tuntas ia baca ke dalam tas selendang kecilnya kemudian berjalan pergi menjauhi kerumuman pengunjung taman kota.

"Aku harus pergi sebelum orang lain melihat . . .".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline