Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Kita Menganggap Usaha sebagai Hal yang Bermoral

Diperbarui: 4 September 2024   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ideogram.ai

Ada sebuah cerita menarik yang bisa mengajak kita berpikir. Bayangkan seorang karyawan bernama Jeff. Ia baru saja diberitahu bahwa pekerjaannya bisa digantikan oleh sebuah perangkat lunak canggih. Namun, berkat kontraknya, Jeff tetap dijamin gajinya selama tiga tahun ke depan, terlepas dari apakah dia tetap bekerja atau tidak. Jeff punya dua pilihan: tetap di rumah sambil menikmati gaji yang sama, atau terus datang ke kantor dan bekerja meski sebenarnya pekerjaannya sudah tidak diperlukan lagi.

Sekarang, mari kita renungkan. Apa yang akan kita pikirkan tentang Jeff berdasarkan pilihannya? Jika Jeff memutuskan untuk terus bekerja meskipun pekerjaannya sudah diambil alih oleh software, banyak orang akan melihatnya sebagai seseorang yang mungkin kurang kompeten tapi lebih "baik" atau "bermoral." Anehnya, ini menunjukkan kecenderungan kita untuk menilai moralitas seseorang berdasarkan seberapa keras mereka bekerja, bukan dari hasil yang mereka capai.

Moralitas Usaha: Mengapa Kita Mengagungkan Kerja Keras?

Apa yang sebenarnya membuat kita menganggap usaha sebagai sesuatu yang lebih moral? Konsep ini sering disebut sebagai "moralitas usaha," yakni anggapan bahwa semakin keras seseorang bekerja, semakin tinggi pula nilai moralnya, terlepas dari hasil yang mereka capai. Menariknya, pandangan ini tidak hanya ditemukan di satu tempat saja. Ini adalah persepsi yang berlaku di berbagai budaya, mulai dari Amerika Utara hingga Korea Selatan, Prancis, bahkan di antara suku Hadza di Tanzania.

Kenapa kita, secara kolektif, begitu mudah terpengaruh oleh moralitas usaha ini? Sederhana saja: kita cenderung menganggap orang yang bekerja keras, bahkan pada tugas yang tidak berarti, sebagai orang yang lebih mungkin dapat dipercaya dan mau membantu. Dalam benak kita, usaha keras dikaitkan dengan niat baik dan ketulusan. Kita cenderung melihat orang yang bekerja tanpa lelah sebagai sosok yang lebih "bernilai" secara sosial, bahkan jika pekerjaan mereka tidak benar-benar berdampak pada hasil yang positif.

Kerja sebagai Identitas: Fenomena Workism dan "Perlombaan" Kerja Keras

Kemudian muncul konsep "workism," yaitu gagasan bahwa pekerjaan bukan hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga menjadi identitas dan cara mencapai aktualisasi diri. Dalam budaya kerja saat ini, banyak dari kita yang mengaitkan nilai diri dengan seberapa keras kita bekerja. Ini memicu semacam "perlombaan" kerja keras di mana orang-orang berlomba-lomba untuk menunjukkan dedikasi dan etos kerja yang lebih tinggi daripada rekan-rekannya.

Bayangkan dua orang karyawan yang selalu datang lebih awal ke kantor. Setiap hari mereka datang lebih pagi daripada sebelumnya, mencoba membuktikan bahwa mereka lebih rajin dan lebih berdedikasi. Mereka ingin menunjukkan kepada manajemen dan rekan-rekannya bahwa mereka adalah pekerja yang tidak kenal lelah. Namun, ironisnya, situasi seperti ini justru bisa menyebabkan overwork dan burnout. Ketika kerja keras menjadi standar moral, kita sering kali terjebak dalam siklus berlebihan yang tidak sehat.

Biaya dari Mengagungkan Kerja Keras yang Berlebihan

Tentu saja, kerja keras sangat penting ketika ada tujuan yang jelas dan bermakna. Namun, ketika kerja keras dianggap bernilai hanya demi kerja keras itu sendiri, kita bisa terperangkap dalam pola pikir yang merugikan. Alih-alih fokus pada hasil yang bermakna, kita justru terpaku pada penampilan semata---berapa lama waktu yang dihabiskan di kantor, seberapa banyak email yang dikirim, atau seberapa sibuk kita terlihat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline