Jalan hidup manusia tidak ada yang tahu. Di mana kita dilahirkan dan di mana kita nantinya menghabiskan sisa umur pun tak ada yang tahu. Semua rahasia ilahi. Kita hanya bisa berencana.
Begitulah yang saya alami. Menjalani masa kecil di Kota Surabaya, mana mengira bakal menjadi orang Tangerang. Padahal pertama kali hijrah ke Jakarta dulu. Melanjutkan sekolah sampai bekerja. Sekarang malah sudah mengantongi KTP Tangerang.
Itulah garis hidup. Sebagai orang yang memiliki kampung halaman, sesekali pasti meluangkan waktu untuk pulang dan menengok kerabat di sana. Nah, momen pulang kampung alias mudik selain dipergunakan untuk silaturahmi mengunjungi sanak keluarga, biasanya saya kuliner jajanan khas dan jajanan masa kecil.
Sayang tidak semua tempat jajan masa kecil bisa didatangi lagi. Faktor si pedagang sudah meninggal dan tidak ada yang melanjutkan. Iya, sih. Karena sudah puluhan tahun. Pasti ada perubahan. Faktor lainnya kondisi tempat jualan yang sudah beralih fungsi. Si pedagang pindah dan tidak ada yang tahu lokasi persisnya.
Salah satu langganan saya sejak kecil adalah bubur ayam. Terutama kalau sedang dalam kondisi sakit. Jadi ketika ada kesempatan balik kampung saya coba menyempatkan diri untuk sarapan bubur masa kecil. Kebetulan tukangnya masih ada dan tetap berjualan.
Jualannya sih di tepi jalan dengan bangku-bangku plastik yang berjajar. Menggunakan gerobak dorong tanpa atap payung plastik atau terpal. Sederhana saja. Harganya cukup terjangkau. Rasanya lumayan enak. Langganannya banyak.
Wah, senang sekali rasanya. Jadi nostalgia zaman kecil bareng-bareng teman menenteng mangkok untuk antre bubur ayam. Kemudian makan bareng-bareng di rumah salah satu teman.
Disuruh bawa mangkuk sendiri oleh orang tua biar si abang buburnya tidak kelamaan nungguin. Karena biasanya kita langsung main dan lupa mengembalikan mangkuk bubur ke abangnya. Lucu juga kalau mengingat semua. Namanya juga anak-anak.
Ketika datang dan sarapan lagi di tempat yang sama. Bertemu pedagang yang sama, rasanya diri ini kok sudah tua sekali. Ya, karena pedang buburnya tetap sama. Tidak berubah secara fisik. Awet tua kata orang.
"Weh, orang jauh. Tambah cakep saja si Eneng."
Begitu sapa si abang tukang bubur saat saya datang dan membeli buburnya. Sambil melayani pembeli lain kami ngobrol ngalor ngidul.