Lebaran tetap bekerja? Saya pernah mengalaminya. Perasaan saya saat itu? Nelongso. Bahasa Jawa yang artinya sedih sekali.
"Gini amat ya nyari duit. Lebaran orang-orang kumpul sama keluarga, kita berangkat kerja."
Itu perasaan yang tak hanya saya yang rasa. Tapi juga teman-teman yang saat itu mendapat jatah masuk kerja.
Saat itu. Saat belum ada media sosial. Jangankan Facebook, Instagram, Twitter atau Tik Tok. Ponsel pun belum ada. Alat komunikasi yang ada saat itu masih berupa pager.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya dan teman-teman bukan? Ini risiko pekerjaan. Sebagai pramuniaga di salah satu store besar, kami tetap bekerja sesuai jadwal yang ditentukan. Store kami tetap buka. Hanya saja lebih siang dari biasanya. Agar kami yang merayakan lebaran bisa salat Idul Fitri dan berlebaran dengan tetangga.
Tetap saja pada saat berangkat bekerja ada perasaan enggan. Tidak bersemangat. Karena suasana lebaran. Masih ingin bercengkerama dengan sedulur yang sudah lama tak bertemu. Bisa bertemunya hanya saat lebaran seperti ini. Makanya tak ada gairah dalam bekerja.
Tapi kami harus profesional. Walau hati menangis bibir harus tetap tersenyum menyapa pembeli. Harus bisa menahan perasaan manakala ada pembeli yang rewel dan menjengkelkan. Sudah kita sedang kesal karena lebaran kena jatah masuk. Eh, ini pembeli bawaannya bikin emosi jiwa. Duh, kalau tidak kuat-kuat imam bisa disemprot tuh pembeli. Habis ngeselin.
Dalam kondisi seperti itu saya dan teman-teman saling menguatkan satu sama lain.
"Disyukuri sajalah. Alhamdulillah kita masih bekerja. Di luar sana banyak yang masih bingung mencari pekerjaan."
"Iya, betul. Di sini walau cuma bengong-bengong ada yang gaji? Coba kalau di rumah? Kerja seharian juga enggak ada yang gaji," ujar yang lain sambil berkelakar.
Memang benar sih. Jadi mau bagaimana lagi? Dinikmati saja. Kalau saya mengalami hal tersebut zaman sekarang mungkin lain cerita.