Lihat ke Halaman Asli

Erni Purwitosari

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Belajar "Ikhlas" Dari Musibah Banjir yang Melanda

Diperbarui: 3 Januari 2020   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

MUSIBAH. Sesuatu yang datangnya tiba-tiba. Tidak bisa diprediksi apalagi diantisipasi. Hanya bisa diterima, dijalani dan dinikmati. Untuk selanjutnya berbenah diri.

Hal inilah yang saya alami saat malam pergantian tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya dan keluarga tidak pernah merayakan malam pergantian tahun secara khusus. Hanya kumpul-kumpul di rumah saja. 

Begitu pula dengan malam pergantian tahun 2020 ini. Hanya di rumah saja. Rencananya kumpul bersama adik-adik saja sambil memesan makanan apa gitu. Tetapi cuaca menjelang tahun baru itu kok suram. Sudah mendung sejak sore. Malamnya turun hujan. Akhirnya tak jadi kumpul-kumpul. Tidur saja. 

Pukul tiga saya bangun. Seperti biasa, melakukan ini dan itu. Termasuk menulis di Kompasiana. Bagi saya pukul tiga sampai menjelang subuh saat yang paling nyaman dan tenang untuk mengerjakan urusan pribadi.

Saya beranjak saat azan subuh tiba. Hujan masih terdengar mengguyur bumi dengan derasnya. Tulisan untuk Kompasiana belum saya publish. Hanya saya save karena belum selesai. Tulisan pertama di awal tahun 2020. 

Ketika sedang sujud di atas sajadah, saya merasakan sajadahnya basah. Saya selesaikan salat tanpa sempat berzikir dan lain-lain. Sebab air terlihat menggenang di lantai begitu banyak hingga semata kaki. Tiba-tiba dan tak terbendung. 

Kepanikan pun segera melanda. Tetangga mulai terdengar ramai. Banjir. Yah, rumah kami kebanjiran untuk pertama kalinya. 

Saya segera menyambar tas ransel siaga bencana dan meletakkannya di atas lemari.  Mengabarkan kondisi ini kepada  sanak saudara dan teman-teman dekat. Selanjutnya menyelamatkan buku-buku di tempat yang tinggi juga. Lalu koleksi kain Nusantara. Mencabut kabel-kabel listrik. 

Kedalaman air terus meningkat hingga setinggi betis. Perabotan rumah sudah mengambang. Tak lama lemari berisi koleksi tas roboh. Saya langsung teringat nasib buku-buku dan kain Nusantara yang sudah di atas lemari. Pasti bisa roboh jika ketinggian air terus. 

Saya segera mengambil paku dan palu yang masih aman di tempatnya. Saya segera naik ke atas kursi dan memaku tembok setinggi mungkin. Setelah itu segera memasukkan buku-buku kedalam kantong plastik. Lalu menggantungkannya di paku tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline