Lihat ke Halaman Asli

Erni Purwitosari

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cara Mengenang Masa Kecil di Desa

Diperbarui: 13 Juli 2019   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Saya lahir di desa sampai dengan kelas satu Sekolah Dasar. Usia yang cukup untuk merekam jejak masa kecil yang pernah dilalui. Salah satunya memori ketika menyusuri jalan setapak di tengah kebun menuju rumah kawan. 

Atau melintasi Padang ilalang menjemput kawan untuk mengajaknya main di halaman depan rumah pak haji. Guru ngaji kami. Selain pandai dalam ilmu agama, pak haji juga seorang pebisnis istilah jaman sekarang. Rumahnya bagus dan halamannya luas. Rumah bertembok beton. Dimana rumah kebanyakan warga masih menggunakan gedek. 

Di halaman rumah pak haji yang kami sebut latar itu anak-anak biasa bermain. Ada yang bermain lompat tali, gundu atau kelereng dan gobak sodor atau gala asin. Malam Minggu halaman tersebut sangat ramai. Apalagi saat bulan purnama. 

Saat seperti itulah saya dan teman-teman janjian untuk bisa kumpul di sana. Kami saling menjemput ke rumah satu kawan ke rumah kawan yang lain. Usai mandi sore kami sudah siap di depan rumah menunggu kawan yang akan menjemput. 

Tak lupa perlengkapan salat kami masukkan ke dalam tas. Meski Sabtu malam pengajian libur. Tetapi kami tetap membawa tas untuk tempat mukena dan sarung. Pukul sembilan malam barulah kami pulang dijemput oleh bapak masing-masing.

Dokpri

Saat melewati jalan setapak biasanya saya digendong belakang oleh bapak. Terutama ketika usai hujan. Saya kerap tertidur digendongan bapak. Momen yang tak akan pernah terlupakan. Bagaimana orang tua memerlu-merlukan dan memberi kebebasan kepada anaknya untuk bermain. Karena menyadari bahwa dunia anak-anak adalah bermain.

Hari Minggu pagi saya dan teman-teman kembali menyusuri jalan-jalan setapak. Kali ini untuk mencari buah-buahan di kebun orang. Pemilik kebun tidak marah jika kami datang meminta mangga atau jambu yang ada di kebunnya. Kami katakan untuk rujakan.

Setelah hijrah ke Jakarta sudah tak saya jumpai lagi suasana seperti itu. Gaya bermainnya tak lagi sama. Jalan setapak yang masih tercium bau tanahnya sulit ditemukan. Oleh sebab itu jika pulang sekolah yang kebetulan jaraknya cukup bisa dijangkau dengan berjalan kaki, saya memilih jalan pelan-pelan sambil mencari jalan baru.

Saya sangat senang jika diajak main ke rumah kawan yang merupakan suku Betawi asli. Mereka memiliki banyak kebun. Jadi kami masih bisa main di kebun sambil memetik buah kecapi. Sayang lambat laun tanah dan kebun mereka berubah menjadi rumah-rumah petakan yang biasa disebut dengan kontrakan. 

Ketika sudah saatnya mengendarai motor, saya kerap pergi ke pinggiran Jakarta. Mencari nuansa pedesaan. Sebelum booming nge-trip seperti saat ini. Di mana kita bisa memilih paket perjalanan yang sesuai keinginan. Bisa ke laut, ke gunung atau ke pedesaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline