Bertempat di Kafe Sastra, Balai Pustaka, Jakarta. Minggu 20 Januari 2019 saya menghadiri acara "Diskusi Nyanyi Sunyi Revolusi." Sebuah pementasan teater yang digagas oleh Happy Salma dibawah bendera Titimangsa Foundation miliknya. Pementasan ini berkisah tentang kisah hidup penyair dan sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah. Oleh karena itu judulnya "Nyanyi Sunyi" diambil dari salah satu karya Amir Hamzah. Hanya diberi tambahan revolusi.
Sebelum acara diskusi dimulai, peserta diajak wisata edukasi mengelilingi Galeri Istana Peradaban. Galeri Istana Peradaban adalah wahana edukasi yang dikelola oleh Balai Pustaka. Sebuah penerbitan milik pemerintah yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya sejak 14 September 1908.
Sementara Galeri Istana Peradaban ini baru diresmikan pada 3 Juli 2018. Setelah Balai Pustaka bangkit dari keterpurukannya. Bahkan nyaris mati. Dalam wisata edukasi ini para peserta diajak naik ke lantai dua. Di sepanjang dinding terpampang hiasan akrilik berisi pantun. Tour guide yang memandu saat itu menjelaskan dengan jelas dan mantap tiap hiasan akrilik yang ditunjuk.
Lalu para peserta diajak memasuki ruang kerja yang didalamnya terdapat akrilik profil tokoh sastra yang berlabuh di Balai Pustaka. Melihat ruangan rapat, ruang tunggu yang di sepanjang dindingnya juga terpampang akrilik quote dari tokoh nasional dan internasional. Menyenangkan berjalan di sepanjang koridor ruangan. Kita bisa melihat dan membaca quote-quote dari orang-orang hebat.
Selanjutnya peserta diajak memasuki ruang kerja awak Balai Pustaka. Di sini tour guide juga menjelaskan tentang beberapa proyek Balai Pustaka yang akan dilaksanakan tahun 2019 ini. Salah satunya rencana membuat film layar lebar dari salah satu buku terbitan Balai Pustaka.
Usai dari sini para peserta diajak naik ke lantai tiga yang merupakan ruang peradaban. Di sini kita bisa melihat koleksi buku-buku tua terbitan Balai Pustaka. Melihat sudut taman bacaan. Dan ruang perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat banyak. Pokoknya bagi pencinta literasi, tempat ini sangat menyenangkan sekali.
Dari sini para peserta diajak turun dan melihat ballroomnya Balai Pustaka serta infografis sejarah Balai Pustaka. Lalu melintasi koridor yang dindingnya penuh dengan akrilik tokoh-tokoh sastra Indonesia. Selanjutnya masuk kembali ke kafe sastra. Rasanya belum puas melihat-lihat Galeri Istana Peradaban. Tetapi karena waktu untuk diskusi telah tiba. Maka para peserta bersiap menempati kursi masing-masing.
Kebetulan tempat duduk saya satu deretan dengan tour guide yang tadi memandu kami. Kawan disebelah menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya. Begitu juga dengan saya. Tak lama ia menyodorkan buku yang sangat menarik dan bagus. Saya sebenarnya tertarik membeli buku tersebut. Karena mengikuti launching buku tersebut. Sayang harganya belum terjangkau kantung. Jadi saya harus menahan diri dulu. Maka ketika disodori buku tersebut untuk dilihat-lihat, jelas senang sekali. Sayang tidak bisa ngobrol lebih jauh.
Tak lama acara diskusi dimulai. Pembawa acara memanggil para pembicara untuk maju. Termasuk tour guide yang memandu kami. Sebelum ia maju, sebuah kartu nama disodorkan pada saya. "Kalau masih ada yang ingin ditanyakan bisa hubungi nomor saya." Begitu saya baca ternyata ia direkrut utama Balai Pustaka.
Teman-teman yang ikut membacanya juga merasa kaget. Tidak percaya. Orangnya ramah dan santai sekali. Tidak sedikitpun menunjukkan diri bahwa ia orang penting. Pantas saat memandu tadi begitu tenang, jelas dan mantap. Ia yang merancang dibentuknya galeri ini. Untuk melestarikan sastra Indonesia. "Wisata edukasi ini gunanya untuk mendekatkan generasi muda kepada kekayaan intelektual dan budaya bangsa,"ujar tour guide kami. Eh, Direktur Utama Balai Pustaka, Achmad Fachrodji. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H