Lihat ke Halaman Asli

Erni Purwitosari

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Mendengar Pesawat Jatuh, Trauma pun Kambuh

Diperbarui: 29 Oktober 2018   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DOKPRI

Setiap fase kehidupan yang kita jalani sudah digariskan oleh Allah SWT, yang biasa kita sebut dengan takdir. Apapun itu, semua sudah dalam ketentuan-Nya. Hidup, mati, rezeki dan jodoh.

Bicara kematian, kita semua tentu ingin matinya nanti dalam keadaan baik. Tidur abadi dengan tenang disaksikan oleh keluarga, anak dan cucu. Tetapi rencana tinggal rencana. Allah yang menetapkan segalanya. 

Tugas kita hanya berdoa meminta yang terbaik. Adapun kok ternyata meninggalnya di medan perang atau kecelakaan. Entah itu kecelakaan mobil, bus, motor atau pesawat. Inilah yang disebut takdir. Takdir akhir kehidupan kita seperti itu. Tak ada yang harus dipersalahkan atau saling menyalahkan.

Tetapi bagi saya yang pernah merasakan suasana mencekam dalam pesawat yang nyaris jatuh, ada sedikit trauma kalau ingin naik pesawat lagi. Apalagi saat mendengar ada pesawat yang jatuh. Duh, rasanya merinding. Teringat pengalaman buruk yang dialami. 

DOKPRI

Peristiwanya sih sudah lama. Sekitar empat tahun yang lalu. Dalam perjalanan dari Padang menuju Jakarta, tiba-tiba pesawat yang saya tumpangi seperti meluncur turun. Saya kaget dan panik. Doa-doa pun langsung tak henti saya lafazkan. Penumpang lain ada yang berteriak dan ada yang menangis. Kami merasa pesawat akan jatuh. Wajar jika kami semua histeris.

Tak lama pesawat terasa naik kembali. Saya sedikit tenang tapi masih tegang dan gemetar. Doa dan zikir tak saya hentikan. Tidak berapa lama, pesawat oleng ke kanan. Suasana kembali tegang. Penumpang histeris menyebut nama Tuhan. Lalu stabil. Tak lama oleng ke kiri lalu stabil lagi. Kami sebagai penumpang benar-benar tegang. Setelah itu laju pesawat seperti terantuk-antuk. Jadi seperti naik bus di jalan berbatu. 

Saya langsung saja mengaktifkann telepon selular dan menulis SMS dengan gemetar. Mengabarkan kondisi saya dan memohon doa dari keluarga di rumah. Saya tahu bahwa ini tidak boleh dilakukan. Tetapi kondisi seperti ini di atas pesawat, saya pikir kalau terjadi apa-apa sangat kecil kemungkinan selamat. Makanya saya segera mengabari keluarga. Setelah itu saya non aktifkan lagi telepon selulernya.

Syukurnya pesawat yang saya tumpangi bisa mendarat dengan selamat. Meskipun melebihi waktu seharusnya. Saya ingat betul kejadian itu terjadi malam hari. Di mana saya mengambil jadwal penerbangan terakhir dari Padang. Dengan pertimbangan tiba di Jakarta sekitar pukul sembilan atau sepuluh malam masih cukup ramailah. 

Ternyata ada peristiwa yang tak diduga. Sehingga tiba di Jakarta sekitar pukul satu dini hari. Awalnya tidak ingin dijemput, begitu mengetahui kondisi saya, akhirnya adik saya sudah siap di bandara.

Sejak itu ada perasaan was-was kalau harus menggunakan transportasi pesawat untuk suatu keperluan. Terlepas dari yang namanya takdir. Tetapi karena pernah mengalami sendiri peristiwa tak mengenakkan itu. Maka jika mendengar peristiwa yang sama, rasanya merinding. Dan kembali terbayang suasana mencekam itu. Saya pun bisa merasakan duka yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan. 

Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Saya hanya bisa berdoa untuk kebaikan semua. Tak ada yang salah. Dan tak ada yang harus dipersalahkan. Inilah takdir. Kejam orang menyebutnya. Tak mengenal perasaan. Tapi bagi umat beragama. Kita yakin dan percaya. Takdir adalah hak Tuhan sepenuhnya. Kita hanya bisa berdoa dan berdoa meminta yang terbaik. Itu saja.( EP)  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline