Menyongsong hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus nanti, Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) bekerjasama dengan Komunitas Jelajah Budaya (KJB) menyelenggarakan Napak Tilas Rengasdengklok, pada hari Minggu, 12 Agustus 2018. Saya menjadi salah satu peserta yang sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Karena kegiatan ini sangat berarti dalam menyulut rasa kebangsaan dan nasionalisme kita. Semacam ngecash kembali semangat cinta tanah air. Sebagai wujud dalam menghargai jasa para pahlawan.
Acara yang diikuti sekitar 100 peserta dari Jabodetabek ini mengambil star dan finis di halaman gedung Munasprok. Dua bus besar telah disediakan. Sejarahwan Rusdi Husein mendampingi peserta sebagai narasumber.
Sebelum rombongan diberangkatkan ada beberapa ceremony yang dilakukan. Pertama sambutan dari pihak Munasprok. Lalu sedikit penjelasan dari sejarahwan Rusdi Husein dan ketua KJB Kartum Setiawan. Selanjutnya pembacaan doa dan foto bersama dengan latar Munasprok. Baru setelah itu rombongan masuk ke dalam bus yang sudah ditentukan.
Perjalanan dari Jakarta menuju Rengasdengklok berjalan lancar tanpa halangan berarti. Sekitar dua jam perjalanan akhirnya rombongan tiba ditujuan. Satu per satu kami turun dari bus dan mengikuti panduan ketua rombongan berjalan menuju rumah Rengasdengklok. Panas yang menyengat menyambut kedatangan kami. Tapi saya merasa ini tidak seberapa berat dibandingkan perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Rumah Rengasdengklok yang merupakan tempat Soekarno-Hatta diasingkan sebelum proklamasi kemerdekaan, milik seorang Tionghoa pembuat peti jenazah, Djiaw Kie Siang. Sampai sekarang rumah tersebut masih ditempati oleh keturunannya. Bagian depannya yang dijadikan museum. Sedangkan bagian dalamnya yang ditempati.
Di sini Soekarno-Hatta oleh golongan muda dibawa. Bukan diculik tapi diasingkan sementara agar tidak terpengaruh oleh Jepang. Sebab pada awalnya Soekarno-Hatta dijanjikan kemerdekaan Indonesia oleh Jepang. Hingga dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945.
Tapi sampai meletusnya perang Pasifik yang meledakan Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang masih belum memberikan kepastian. Sutan Sjahrir yang mengetahui berita ini dari radio segera menyampaikannya kepada Soekarno. Tetapi Soekarno tetap dengan pendiriannya tidak akan bertindak sendiri, karena menurutnya ini hak dan tugas panitia. Jadi harus sesuai prosedur. Itulah sebabnya golongan muda segera membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Rengasdengklok adalah markas PETA. Tetapi karena kondisinya kurang pantas bagi Soekarno-Hatta yang membawa keluarganya. Maka dipilihlah rumah yang lebih layak kala itu, yakni rumah Djiaw Kie Siang. Rumah aslinya sih di tepi sungai Citarum. Tapi akibat banjir yang melanda, akhirnya keluarga tersebut pindah ke lokasi yang sekarang.
Subuh hari Soekarno-Hatta dibawa, sore hari dijemput kembali ke Jakarta untuk membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Hotel Des Indes yang sedianya akan dijadikan tempat rapat, tidak bisa digunakan karena adanya jam malam. Mereka para tokoh bangsa itu malam hari baru tiba di Jakarta. Akhirnya mereka menuju rumah Laksamana Maeda. Tentara angkatan laut Jepang yang berpihak kepada Indonesia. Soekarno-Hatta kembali menanyakan berita tentang kekalahan Jepang pada Maeda. Maeda mengiyakan tetapi belum dapat berita lagi dari Tokyo.
Soekarno-Hatta beserta tokoh nasional lain menemui Jenderal Nishimura. Untuk menanyakan kapan kepastian Indonesia bisa melaksanakan kemerdekaannya. Tetapi jawaban sang Jenderal sungguh mengecewakan. Jepang sudah tidak bisa memiliki kewenangan apapun. Karena mereka sudah dibawah kekuasaan sekutu.
Soekarno-Hatta kembali ke rumah Maeda dengan perasaan khawatir. Golongan pemuda yang sudah menunggu kepastian tentang kemerdekaan Indonesia tentu akan murka mendengar berita ini. Dan benar saja. Golongan muda langsung mendesak Soekarno untuk bertindak. Mereka tidak rela bangsa Indonesia dijadikan investasi bagi tentara sekutu.