Lihat ke Halaman Asli

Erni Purwitosari

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Rindu Menyeruput Teh ala Baduy

Diperbarui: 15 Juli 2018   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

RINDU. Perasaan yang tiba-tiba muncul tanpa perencanaan. Tidak melulu terhadap sesama mahluk hidup. Tetapi bisa juga terhadap suasana dan nuansa yang pernah dialami. Dan ini yang pernah saya rasakan. Rindu akan tradisi yang terjadi saat berada di pedalaman Baduy.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengikuti perjalanan ke Baduy dalam. Sebuah suku yang dikenal sangat menjaga adat istiadat dan tradisi yang telah diterapkan. Tak bergeming atas kemajuan teknologi dunia luar.

Baduy adalah suku yang mendiami daerah pegunungan Kendeng, desa Kanekes. Berada di wilayah Leuwidamar, Lebak, Banten. Baduy terbagi menjadi dua wilayah perkampungan. 

Yaitu perkampungan Baduy Luar dan Perkampungan Baduy Dalam. Di perkampungan Baduy Luar tradisi yang dijalankan masyarakat setempat berbeda dengan tradisi yang ada di perkampungan Baduy Dalam. 

Di perkampungan Baduy Luar kita masih bisa menjumpai masyarakat sekitar yang penampilannya seperti orang kebanyakan. Yang mengenakan kaos atau daster. Tapi tidak demikian dengan masyarakat yang ada di perkampungan Baduy Dalam. Masyarakat di sana hanya mengenakan pakaian dari hasil tenunan mereka juga. 

Dokumentasi Pribadi

Bagi laki-laki berupa kain yang dililit sebatas lutut menyerupai sarung dengan atasan berupa baju dengan warna hitam atau putih. Tak ada warna lain. Sementara para perempuan kebanyakan hanya mengenakan kemben atau kain yang dililit sebatas dada. Itu berlaku juga terhadap anak-anak perempuan dan gadis-gadis Baduy Dalam. Sayang tidak bisa mendokumentasikan suasana di sana. Sebab itu merupakan larangan keras bagi mereka yang memasuki wilayah perkampungan Baduy Dalam.

Tak hanya itu, banyak larangan-larangan lain seperti tak boleh menggunakan sabun dan pasta gigi saat mandi di sana. Agar tidak mencemari sungai. Sebab sungai merupakan sumber kehidupan di sana. Tempat untuk mengambil air masak dan juga tempat melakukan aktivitas bersih-bersih badan serta mandi dan juga mencuci pakaian.  

Jadi pada saat berada di perkampungan Baduy Dalam kita akan melihat lalu lalang masyarakat di sana, terutama kaum perempuan yang wira-wiri ke sungai dengan tubuh terbuka, hanya mengenakan kemben. Tanpa alas kaki. Menjinjing bakul berisi cucian atau menggendong bambu yang digunakan untuk mengambil air. Atau hendak mandi di sungai begitu saja.

Ya, begitu saja. Artinya tinggal melepas kain yang dikenakan dan meletakkannya dibalik bebatuan. Lalu dengan santainya mereka berendam di dalam air sungai untuk membersihkan tubuh. Dan itu yang juga saya alami saat berada di sana. Agak malu karena tak terbiasa. Tapi seru saat mengenang semua.

Dokumentasi Pribadi

Selama berada di sana tak ada aktivitas berarti yang bisa saya lakukan, selain ngobrol-ngobrol dengan masyarakat sekitar yang mengerti bahasa Indonesia. Sebab mayoritas dari mereka tak paham bahasa Indonesia. Kecuali mereka yang kerap keluar kampung. Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda.

Di perkampungan Baduy dalam tak ada aliran listrik. Jadi pada malam hari suasana begitu gelap pekat. Hanya lampu-lampu minyak yang mereka gunakan sebagai penerangan di rumah-rumah. Karena sudah terbiasa, anak-anak tetap lincah bermain dan berlari-lari dalam gelap. Saya memilih duduk manis sambil menikmati suguhan teh yang disediakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline