<!--[if gte mso 9]><xml> 0012351342Danny Darussalam113157414.0 </xml><![endif]--> <!--[if gte mso 9]><xml> Normal0falsefalsefalseEN-USJAX-NONE </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--> <!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:Cambria; mso-ascii-font-family:Cambria; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Cambria; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} </style> Mas Salman, dalam menjalankan profesi saya, seringkali menemukan orang-orang yang tipikalnya seperti Mas. Orang tersebut mempunyai karakter yang ingin mencapai sukses/terkenal dengan cara instan. Bagaimana caranya? Cara yang digunakan adalah dengan berusaha menjatuhkan orang yang sudah di puncak sukses tanpa melalui kerja keras (Contoh: Pakde Kartono adalah nominator kompasianer favorit best in opinion 2014 dan masuk kategori 14 Kompasianer teraktif tahun 2014), dibandingkan dengan berusaha mencapai kesuksesan tesebut melalui kerja keras. Ada pepatah hidup yang mengatakan, high risk, high return. Hal ini sepertinya terlewat oleh Mas.
Strategi tersebut kalau berhasil, hasilnya cukup lumayan, dalam konteks artikel ini, yaitu, bisa langsung melambungkan nama Mas sehingga "dianggap" lebih dari Pakde Kartono dengan cara instan. Akan tetapi, ternyata strategi tersebut menjadi serangan balik (backfire) terhadap Mas sendiri, karena menurut pendapat saya, seperti yang telah pak de Kartono ungkapkan dalam artikel beliau, bahwa dalam menjalani kehidupan, sebaiknya kita harus mengukur kemampuan (-pengetahuan intelektual yang diperoleh secara akademis dan pengetahuan dari pengalaman hidup-) diri sendiri.
Mengenai ada-nya tebak-tebakan matematika atau logika yang diutarakan ke Pakde Kartono, saya yakin, sekelas pakde Kartono, yang kompensasinya dibayar dengan rate/hour tidak mempunyai waktu untuk melayani tebak-tebakan yang tidak mempunyai manfaat. Tujuannya hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat.
Sebelum mengakhiri komentar ini, saya ingin sampaikan bahwa ada sisi positif dengan artikel ini, bahwa dengan memberi judul atau membahas Pakde Kartono, maka saya jadi bisa membaca artikel Mas di Kompasiana ini. Jika tidak, mungkin saya tidak akan pernah punya kesempatan mengetahui keberadaan (eksistensi) Mas di Kompasiana.
Salam dari murid Pakde Kartono
<!--EndFragment-->
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H