Tulisan dari sahabat saya, Toto Mulyoto Abi Ahsan sangat menggelitik. Diam-diam ia sering membaca, mengkoreksi dan mengkritik tulisan saya. Memang begitulah seharusnya, agar saya terus belajar memperbaiki dan lebih baik lagi.
Saat ia mengirim artikel "Lain Barang Lain Cerita" di platform blog Retizen Republika, ia sempet menulis "Mohon maaf jika kurang berkenan". Ia pikir saya akan marah, justru saya senang. Kritik harus membuat saya instrospeksi agar lebih berhati-hati memilih diksi.
Selain mengkoreksi masalah typo kata, ejaan yang kurang tepat juga kerap ia lontarkan. Lagi-lagi saya tidak marah, saya senang, ia lebih perhatian dari saya . Harusnya saya membacanya tiga kali sebelum saya terbitkan artikel tersebut.
Model kritikan kayak Pak Toto ini agak jarang saya temukan. Hanya ia yang berani japri saya karena tulisan typo dan salah ejaan.
Bahkan, ia membuat review kesalahan saya. Ini sangat menggelitik hati saya, hingga saya juga ingin "membalas" dengan tulisan.
Yang membuat saya lebih penasaran, ia bandingkan buku saya dengan judul "Menulis itu Gampang. Mengasah Keterampilan Menulis di Masa Pandemi" dengan Prof. Wahyudi dengan judul "Menulis Semudah Tersenyum". Katanya beliau, buku saya " Punya cerita yang lebih panjang dari Prof. Wahyudi".
"Ehm, panjang apanya ya" celetuk saya dalam hati. Panjang jumlah halaman, atau memang proses cerita menulis saya yang panjang. Di buku itu, memang saya tuangkan proses menulis dan pengalaman saya. Referensi pun saya tambahkan agar ada landasan filosofisnya.
Memang saya sepandai Pak Toto yang mengkritik pemerintah dan sejarah masa lalu. Bukannya saya tidak bisa, tapi biarlah porsinya saya berikan untuk Pak Toto dan kawan-kawan.