Antara Pemerolehan Bahasa dan Mengenal Teori Morfologi & Sintaksis
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang diliputi berbagai macam kebutuhan untuk mempertahankan kahidupannya. Selain kebutuhan primer seperti seperti makan dan minum. Hal terpenting yang sangat dibutuhkan oleh manusia adalah bahasa. Hanya dengan komponen bahasalah manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya, memberdayakan manusia, dan memanusiakan manusia. Segala aspek kehidupan dapat berjalan dengan lancar karena adanya bahasa. Tanpa adanya bahasa musykil segala elemen kehidupan dapat berlangsung dan berkembang dengan pesat.
Namun, bahasa bukanlah sesuatu hal yang diturunkan secara genetik. Melainkan harus dipelajari. Artinya, kemampuan berbahasa seorang anak tidak dikuasainya begitu saja semenjak kelahirannya. Agar anak tersebut dapat berbahasa dengan sesuai dengan bahasa ibunya. Maka, ia harus melalui tahapan-tahapan tertentu dalam proses mempelajari bahasa ibunya. Setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, yakni bahasa ketika masih bayi, berkembang menjadi balita, dan tumbuh sebagai anak berusia remaja yang telah memguasai bahasa ibunya dengan baik. Kemampuan berbahasa yang telah dikuasai oleh anak berumur delapan tahun sampai dengan tiga belas tahun atau masa pubertas, biasa digunakan untuk mengutarakan gagasan-gagasan mereka secara lisan maupun tulisan.
Pada masa-masa pubertas inilah, pemerolehan bahasa dapat diperoleh dengan cepat. Sebab, belahan otak kanan dan kiri mereka belum mengalami lateralisasi. Maka dikatakan bahwa masa puber merupakan masa keemasan yang biasanya diebut dengan golden age. Hal ini dikarenakan, belahan otak kanan dan belahan otak kiri dapat saling mengisi. Keadaan yang belum terlateralisasi inilah yang menyebabkan proses pemerolehan bahasa lebih mudah daripada proses tersebut berlangsung sebelm terjadinya lateralisasi.
Masa-masa golden age atau masa keemasan tidak hanya terjadi pad masa-masa pubertas. Melainkan pula dapat terjadi pada anak sejak dini, khususnya pelajar kelas sekolah dasar, yang merupakan masa paling produktif untuk menyerap, menguasai, dan mengembangkan bahasa pertamanya maupun dalam mempelajari bahasa asing. Sebab otak manusia pada masa itu masih bersifat elastis.
Kajian Teori
- Teori Pemerolehan
Teori pemerolehan bahasa, seperti halnya teori ilmiah lainnya, menampilkan berbagai hipotesis yang dijadikan dasar kajiannya. Beberapa di antara beraneka hipotesis yang muncul dirumuskan secara utuh dan mendalam serta dikaji adan diuji terutana oleh Krashen (1982; 1985). Krashen (1982; 1985:10) berpendapat bahwa ada dua cara yang masing-masing berdiri sendiri dalam mengembangkan kemampuan B2, yakni dengan pemerolehan dan pembelajaran.
Pemerolehan dalah proses yang serupa dengan yang dilalui oleh anak dalam mengembangkan kemampuan B1-nya. Pemerolehan bahasa merupakan ambang sadar; pemerolehan bahasa biasanya tidak sadar bahwa ia tengah memperoleh bahasa, tetapii hanya sadar akan kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Hasil pemerolehan bahasa, yaitu kompetensi yang diperoleh, juga bersifat diambang sadar. Pemerolehan B1 dan B2 itu tidak sepenuhnya sama. Perbedaannya digambarkan oleh Titone (1981:73) sebagai berikut:
- Pemerolehan B1 bersifat spontan dan jarang; dorancang; sedangkan pemerolehan B2 pada umumnya diniatkan dan dirancang.
- Pemerolehan B1 dikondisikan dengan pemerkokoh primer seperti kebutuhan untuk mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan untuk membina hubungan afektif dengan orang tua. Sebaliknya, pemerolehan B2 sering dikondisikan pemerkokoh yang lebih lemah, misalnya angka di sekolah.
- Tidak seperti bayi yang bergerak dari tanpa pengetahuan melalui tahapan yang teridentifikasi dan pasti, pembelajar B2 telah mengetahui bahasa ibunya. Bi ini dapat merupakan aset yang dapat ditransfer pada waktu belajar B2. Tetapi, apabila B1 dan B2 berbeda, maka dapat lahir interferensi.
- Pembelajar B2 telah mempunyai kemampuan untuk mendikriminasikan bunyi dan struktur sedangkan bayi mulai nol.
- Pembelajar B2 telah mempunyai persepsi tertentu dan juga sikap terhadap budaya asing yang dapat mempengaruhi proses belajarnya.
Dalam hal pemerolehan bahasa ini Bloomfield dan Chomsky berpendapat bahawa misteri perbuatan belajar berasal dari dua fakta utama tentang penggunaan bahasa, yaitu bahasa itu taat azas dan kreatif. Bloomfield (1933:1945:276) mengatakan bahwa penutur yang mengetahui konstituen dan pola gramatis dapat berharap mampu daftar konstituen dan pola gramatis itu karena kemungkinan kombinasinya itu tak terbatas. Sedangkan analisis Chomsky tentang masalah si pembelajar dimulai lampir hampir secara serupa, yaitu dengan asumsi bahwa data masukan itu adalah kalimat-kalimat yang didengar dan bahwa prosedur pembelajaran itu mesti merupakan semacam generalisasi induktif dari korpus semacam itu.
Slogan-slogan yang muncul pada zaman Bloomfield adalah 1) bahasa itu tuturan, bukan tulisan. 2) bahasa itu adalah seperangkat kebiasaan-kebiasaan, 3) ajarkan bahasa bukan tentang bahasa, 4) bahasa itu adalah apa yang dituturkan penutur asli, 5) bahasa itu berbeda (Moulton, dikutip dari Diller 1978:10). Adapun proposisi yang diketengahkan oleh Chomsky adalah 1) bahasa yang hidup itu ditandai dengan kreatifitas yang taat azas, 2) kaidah tata bahasa itu psikologi nyata, 3) manusia itu secara khusus diperlengkapi untuk belajar bahasa, dan 4) bahasa yang hidup adalah bahasa yang di dalam bahasa itu kita dapat berpikir (Diller 1970:23).
Teori pemerolehan bahasa ini terus berkembang hingga samapai pada era tata bahasa generatif (TG). Dalam teori TG seorang anak memperoleh kompetensinya dalam tahap awal bahasa ibunya. Dalam tahapan anak membentuk hipotesis tertentu tentang kode dan mengetesnya dengan ujaran yang didengarnya, sampai pad akhirnya anak mempelajari keseluruhan kode menurut pandangan ini ujaran anak yang menyimpang dari dewasa bukanlah suatu kesalahan melainkan suatu manifestasi dari sejenis kode yangtelah dia kontrol dalam tahapan yang bersangkutan.