Tetralogi Buru (2): Subaltern dalam Novel Anak Semua Bangsa
Novel Anak Semua Bangsa (ASB) merupakan bagian kedua dari tetralogi buru karangan Parmoedya Ananta Toer. Dalam novel ini terdapat kelanjutan cerita kehidupan kaum perempuan yang masih dianggap sebagai golongan subaltern dan terpinggirkan dalam masyarakat sosial.
Namun, konstruksi konsep perempuan yang masih diposisikan sebagi makhluk kelas kedua telah mulai diputarbalikkan oleh tokoh-tokoh perempuan pada novel ASB.
Nyai Ontosoroh menjadi tokoh perempuan yang memiliki watak feminis dan melakukan perlawanan atas penindasan sistem-sistem yang telah merugikan kehidupannya.
Pram menggambarkan tokoh perempuan, dalam hal ini perempuan pribumi yang memiliki beban ganda pada masa kolonial, bangkit untuk menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang memiliki hak sama dengan kaum laki-laki. Perempuan pribumi atau perempuan Dunia Ketiga telah direpresentasikan sebagai golongan subaltern yang terpinggirkan dan tertindas oleh sistem kolonial dan sistem patriarki.
Bahkan secara umum perempuan Dunia Ketiga telah direpresentasikan sebagai makhluk yang bodoh, miskin, terbelakang, terikat adat, jinak, berorientasi keluarga, selalu mnejadi korban, sementara yang mendorong dan meninggikan swarepresentasi perempuan Barat yang modern, terdidik, yang mandiri, sehat jasmani dan seksualitas, serta 'kebebasan' untuk menentukan keputusan mereka sendiri.
Pada Tetralogi Buru, Pram memperlihatkan dan menarasikan watak perempuan Dunia Ketiga yang telah meniru (mimikri) perempuan Eropa baik dalam sikap, gaya, bahasa, ataupun pemikirannya.
Perempuan-perempuan yang terpinggirkan dapat mengartikulasikan suaranya untuk melawan ketidakadilan dan mempertahankan hak-haknya sebagai perempuan.
Pemutarbalikkan keadaan atas konstruksi perempuan Dunia Ketiga yang telah menjadi korban kolonialisme telah disejajarkan dengan perempuan-perempuan Dunia Pertama uyang dapat bersaing dengan kaumlaki-laki sehingga mereka tidak mengalami penindasan atau penjajahan.
Perempuan Dunia Pertama merupakan perempuan terdidik ala Barat dengan kesadaran akan politik identitas dan politik agensi. Hal ini membuat mereka memilki kemampuan menerobos akses hegemoni yang menindas.
Akan tetapi, perempuan Dunia Ketiga adalah perempuan yang tidak terdidik dan kesadaran politik identitas-nya, dalam konteks sekarang, telah dirampas dengan daya global, dengan sebutan globalisasi.