Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata JAKARTA? Ya.. pasti yang terlintas adalah macet, banjir, kumuh, dan segala bentuk ketidaknyamanan. Namun Jakarta tetap menjadi pesona bagi warga di daerah sekitar Jakarta atau bahkan menjadi impian bagi sebagian warga di Indonesia untuk didatangi. Untuk hanya sekedar mencari hiburan sampai menjadi tempat mencari nafkah. Warga Jakarta pun terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Tidak dapat dipungkiri memang Jakarta menjadi kota pusat perekonomian dan pemerintahan negara ini, sehingga warga menganggap Jakarta bisa memberikan kehidupan yang layak.
Namun Jakarta adalah kota yang bukan tidak memiliki masalah. Macet dan banjir menjadi problem utama bagi ibukota negara khatulistiwa ini. Setiap musim hujan datang warga harus bersiap diri untuk menghadapi banjir. Seolah menjadi rutinitas tahunan yang tidak dapat ditolak. Sampai saat ini pun penanganan masalah banjir ini belum dapat terselesaikan.
Satu lagi masalah yang sangat sulit diatasi walaupun Jakarta sudah berganti gubernur dari seorang jenderal hingga seorang sipil sadalah MACET. Saya sangat yakin sebagian besar warga Jakarta atau warga yang tinggal di daerah perbatasan Jakarta sudah merasa jengkel dengan kemacetan di ibukota. Bahkan mungkin sudah pada tahap acceptance sehingga banyak warga yang sudah beradaptasi dengan macet. Menerima kemacetan sebagai salah satu rutinitas hidup yang harus dijalani sehari-hari. Tidak hanya pada saatweekday, warga juga dapat menikmatinya pada saat akhir pekan.
Lalu apa solusi pemerintah?Selama ini, penyelengaraan transportasi masih menggunakan pendekatan predict & supply (perkiraan dan penyediaan), atau menitikberatkan pada penyediaan infrastruktur untuk mengantisipasi volume kendaraan di masa depan. Sebab, membangun jalan (pelebaran atau penambahan jalan baru) adalah cara paling mudah untuk secara langsung mengurangi kepadatan lalu lintas dengan menambah ruang jalan. Belajar dari pengalaman negara-negara maju, paradigma ini tidak menyelesaikan masalah. Malah menyebabkan masalah baru yang lebih besar di masa datang, yaitu memicu arus lalu lintas baru yang makin besar dan makin sulit dikelola. Hingga saat ini solusi yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta hanya pada tingkat Symptom Solutions. Artinya solusi yang dilakukan hanya untuk sementara waktu tidak pada substansinya atau pada sisi fundamental. Contohnya kebijakan pemerintah dalam mengatasi macet seperti kebijakan jalur 3 in 1, penambahan lebar dan panjang ruas jalan seperti pembangunan flyover, tol dalam kota, dll. Perlu diketahui bahwa penambahan kendaraan bermotor baik itu mobil atau motor di Jakarta memiliki index tertinggi dari seluruh daerah di Indonesia.
Data Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa pertambahan sepeda motor dan mobil total mecapai 1.130 unit per hari. Tahun 2011Total jumlah kendaraan di Jakarta ada sebanyak 11.362.396 unit. Terdiri dari 98 persen kendaraan pribadi atau 10.502.704 kendaraan dan dua persen transportasi umum atau 859.692 unit angkutan umum. Dari total kendaraan pribadi, ada sebanyak 8.244.346 unit roda dua dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit. Sementara pertumbuhan jumlah kendaraan tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan jalan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen pertahun. Bisa kita bayangkan jika dibandingkan maka tidak seimbang. Akibatnya solusi penambahan ruas jalan ini tidak akan menyelesaikan masalah kemacetan karena pertambahan jumlah kendaaraan akan terus meningkat sebanding dengan pertambahan penduduk.
Sama halnya dengan pemberlakuan jalur 3 in 1. Implementasinya sejak 1992 sampai saat ini belum efektif untuk menurunkan tingkat kemacetan di Jakarta. Mengapa? Karena malah memicu persoalan baru, yaitu menjamurnya joki.
Ada beberapa solusi yang merupakan pendapat saya untuk memecahkan masalah kemacetan di Jakarta. Saya mungkin bukan orang yang expert di bidang kebijakan publik atau di bidang tata rencana atau kelola kota. Tetapi saya warga negara yang peduli dengan keadaan bangsa dan negara ini terutama kota Jakarta dan mencoba untuk berpendapat.
Saya menawarkan untuk diberlakukannya HARI TANPA KENDAARAAN PRIBADI baik itu MOBIL maupun MOTOR. Ini solusi yang ingin saya tawarkan, bisa diterapkan misalnya 2 hari dalam seminggu tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi, bisa kita pilih pada hari rabu dan jumat atau pilihan hari lainnya. Bagi yang melanggar dapat dikenakan sanksi yang diputuskan melalui Perda. Kebijakan ini akan memaksa warga mau tidak mau untuk menggunakan transportasi publik. Hal itulah yang menjadi tujuannya. Ini bisa melatih warga untuk tidak manja selalu menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke suatu tempat.
Jika ini dapat menjadi kebiasaan maka bukan tidak mungkin akan menjadi budaya bagi warga kota Jakarta untuk menggunakan transportasi publik. Tentunya terdapat catatan khusus jika ingin memberlakukan kebijakan ini, yaitu transportasi publik yang mumpuni harus diprovide. Artinya transportasi publik harus memberikan kenyamanan dan menjangkau tempat-tempat yang strategis. Oleh karena itu, Pembangunan MRT merupakan poin positif yang harus di apresiasi. Namun apakah nantinya kita dapat menjamin warga akan menggunakan MRT ini sehingga menurunkan kemacetan.
Nah solusi HARI TANPA KENDARAAN PRIBADI akan menjadi paksaan buat warga untuk menggunakan MRT dan atau transportasi publik lainnya. Jika paksaan ini berubah menjadi kebutuhan maka selanjutnya bukan tidak mungkin akan menjadi kesadaran dan membudaya di masyarakat. Kita dapat membangun karakter dan budaya menggunakan transportasi publik bagi warga Jakarta. Membangun budaya memang sulit tetapi tidak ada yang tidak mungkin. Walaupun mungkin kebijakan ini akan terlihat konyol dan sulit diterapkan, namun bagi saya keberanian, keseriusan, dan ketegasan dari pemimpin dan pemerintahlah yang menjadi kuncinya. Sisi positif lain dari kebijakan ini adalah dapat menurunkan konsumsi BBM.
Selain itu, kebijakan harus tegas untuk menurunkan laju pertumbuhan kendaraan di Jakarta, karena hal ini juga menjadi fundamental. Salah satu teman saya yang bekerja di dealer otomotif pernah bercerita bahwa penjualan kendaraan roda empat (mobil) di cabang yang baru, di tempatnya bekerja saja dapat menjual 120 unit mobil dalam sebulan. Jika digeneralisasi bayangkan berapa jumlah mobil yang terjual dari seluruh dealer mobil di jakarta dalam sebulan? Atau bisa kita lihat dari data yang saya sampaikan sebelumnya. Kebijakan pajak yang tinggi terhadap kendaraan lebih penting dibandingkan menaikkan tarif parkir kendaraan atau penerapan ERP (Electronic Road Pricing). Saya pernah mengunjungi negara Jepang dan takjub bagaimana sistem transportasi dapat berjalan dengan baik. Tidak ada kemacetan dan lalu lintas berjalan sangat tertib. Jepang menerapkan kebijakan yang tegas terhadap transportasinya seperti pembatasan jumlah kendaraan. Walaupun pada akhirnya kita yang terkena imbasnya menjadi korban, dimana perusahaan otomotif Jepang menjadikan Indonesia sebagai pasarnya. Hmm, ya bisa dilihat dampaknya sekarang, jumlah kendaraan di Indonesia tak terbendung.
Kita dapat meniru kebijakan Jepang itu dengan menaikkan pajak kendaraan dan membatasi jumlah kepemilikan kendaraan misalnya. Perlu kemauan dan ketegasan dari pemimpin dan pemerintah kota Jakarta untuk mengatasi kemacetan. Harus pada sisifundamental solutions. Sehingga masalah ini tidak menjadi kambuh di kemudian hari. Perencanaan harus dimulai untuk jangka waktu yang panjang. Ingat Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, jika kita tidak berusaha untuk mengubahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H