Masih ingatkah dengan pernyataan Presiden Jokowi pada bulan Februari 2021 perihal adanya kemungkinan UU ITE direvisi? Saat itu sempat timbul reaksi pro dan kontra terhadap pernyataan Presiden. Ada pihak yang terus mendesak pemerintah agar UU ITE segera direvisi. Bahkan ada pihak yang meminta beberapa pasal dihapuskan karena diduga membunuh kebebasan berpendapat.
Berpendapat memang bukan pelanggaran dan bukan tindak pidana. Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan bersifat fundamental. Namun, tidak juga bersifat mutlak. Dalam artian tetap harus ada batasan-batasan yang berlaku dan diatur dalam Undang-Undang. Harus selalu diingat bahwa berpendapat tidak boleh disertai fitnah, ujaran kebencian terlebih bernada SARA dan penghinaan. Begitu juga dengan kritik yang disampaikan kepada pemerintah ataupun pihak tertentu. Kritik haruslah bersifat membangun, bukan bersifat destruktif.
Pentingnya UU ITE
Media sosial kerap digunakan secara bebas untuk menyebarluaskan kebencian. Acapkali media sosial menjadi senjata untuk menyebarkan fitnah dan berita bohong. Permasalahannya, masih banyak masyarakat yang menelan mentah-mentah pemberitaan tersebut. Masih ada masyarakat yang terprovokasi, bahkan begitu saja percaya dan ikut menyebarkan berita tanpa mengecek kebenarannya. Hal seperti ini dapat memicu kekacauan di dalam negeri.
Penyebar kebencian dan berita bohong tidak bisa dibiarkan begitu saja, terlebih jika mendiskreditkan kelompok tertentu dan menodai toleransi. Harus ada aturan yang ditetapkan negara guna melindungi hak warga negara. Negara harus hadir untuk menjamin keamanan masyarakat termasuk dari pemberitaan yang mengusik dan mengancam perdamaian bangsa.
Disinilah fungsi UU ITE yang mengharuskan pengguna media sosial lebih bijak dalam mengekspresikan pendapat. Ekspresi kebebasan berpendapat harus selalu memegang etika. Ujaran kebencian, fitnah dan berita bohong tidak dapat dibenarkan dengan dalih mengancam demokrasi. Undang-undang ITE tetap harus ada jika masih ingin melihat Indonesia sebagai negara beradab.
Pemerintah memiliki hak untuk membatasi hingga melarang perkataan yang merujuk pada hasutan dan kebencian. Masyarakat tidak perlu menganggap UU ITE sebagai momok dalam demokrasi jika kritik yang dilontarkan memang bersifat membangun dan tidak memiliki unsur kebencian.
Revisi UU ITE
Setelah sekian bulan berlalu sejak dibentuknya tim pengkaji revisi UU ITE , akhirnya pemerintah diwakili oleh Menko Polhukam, Mahfud MD memutuskan untuk merevisi beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Perlu digaris bawahi bukan dihapus, tetapi direvisi. Karena jika pasal-pasal yang dikatakan sebagai pasal karet tersebut dihapus, maka efek jera untuk para penyebar kebencian akan hilang.
Diharapkan revisi UU ITE tidak dimanfaatkan oleh suatu kelompok ataupun organisasi untuk memenuhi tujuan dan niat tertentu. Masyarakat harus cerdas dalam menyingkapi UU ITE. Jangan menganggap UU ITE sebagai senjata sapujagad, alat untuk membungkam kritik dan mempidanakan orang lain. Jangan ada generalisasi, tidak semua kritik masyarakat dikategorikan tindak pidana hingga dijerat pasal UU ITE.