Lihat ke Halaman Asli

Catatan Harian Seorang Amnesia 2

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dokter Aya’, begitulah orang-orang memanggilnya. Sebenarnya, ia lebih suka dipanggil dengan nama Aya’ saja. Baginya, sebutan “Dokter” adalah bentuk lain dari ketakaburan. Serupa tembok yang angkuh: hanya mempertegas siapa yang mengobati dan siapa yang diobati. Padahal, seluruh manusia dilahirkan sama: seonngok daging dengan luka-luka yang menganga.
Manusia sejatinya adalah pasien : penuh luka, derita, dan rasa sakit yang tak kunjung reda. Begitu juga dengan dirinya. Kelihatannya saja seolah-olah ia menjadi pahlawan tempat bertumpunya seluruh harapan. Bahkan, acap kali ia dianggap sebagai sang malaikat yang dapat menyembuhkan segala jenis luka dan penyakit. Padahal, sejatinya ia adalah sang pasien, yang sedang bersusah payah menjahit luka-lukanya sendiri.
Bagiku, ia memang berbeda dari dokter-dokter lain yang pernah kutemui. Menjadi seorang dokter adalah murni sebagai bentuk dari pengabdiannya pada sesama. Dan, atas nama suara hati nurani, ia datang ke desa ini: sebuah desa yang kini luluh-lantak berserakan. Hanya dalam sekejap, gempa telah merobohkan rumah-rumah kesayangan kami, dan juga merebut canda tawa kami. Kini, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran dengan beberapa lusin penderitaan.
Ah! Sudahlah. Menceritakannya, mustahil tanpa air mata. Mungkin, benar apa yang pernah Aya’ bilang padaku. Di suatu pagi yang gelisah, yang sekaligus menjadi awal dari pertemuan kita, perlahan ia bilang padaku: ”Sudahlah! kau tak perlu terlarut-larut dalam penderitaan ini. Lupakan! Kecuali, kau tidak ingin menyembuhkannya.” Sebagai seorang dokter, kesembuhan fisik dan mental pasien sudah menjadi tugas utamanya.
Sekarang ia di sini, di depanku. Seperti biasa, ia tersenyum ramah padaku. Setelah itu percakapan antara dokter dan pasien pun di mulai. Entah, tak terasa obrolan kita pun memanjang kemana-mana. Menelanjangi segala ruang yang mampu kita sentuh. Lebih-lebih, pertanyaan-pertanyaannya mulai menggerayangi kehidupan pribadiku—sebuah kehidupan yang telah lama kupendam. Sebuah kehidupan yang sebagiannya masih menjadi misteri.
Sungguh, ia telah masuk dalam ruang pribadiku gelap dan penuh misteri. Jauh di dalam benakku, sempat terpikir untuk segera menghentikannya. Di satu sisi, aku tak ingin ada yang hilang dari dalam diriku. Pada sisi yang lain, keinginanku untuk mencari petunjuk tentang masa laluku yang hilang terus menggelora.
Aku terus mereka-reka sendiri, mencari kepastian di antara ketidakjelasan-ketidakjelasan yang ada. Pada akhirnya, keluhuran sikap yang ia miliki membuatku takluk di hadapannya. Tanpa sadar, sedikit demi sedikit pintu-pintu masa laluku yang kian rapuh mulai terbuka dengan sendirinya. Tak tertahan lagi, aku pun mulai bercerita padanya. Tentang sekelumit kehidupan di masa lalu, tentang segala dari bagian-bagian yang masih bisa kuingat.
Kecelakaan yang kualami saat itu telah merubah segalanya. Kecelakaan yang telah membuatku terpaksa menjalani operasi wajah dan operasi transplantasi tulang sum-sum belakang. Akibatnya, aku amnesia.
Sudah bertahun-tahun aku terus berusaha mengingat bagian-bagian yang telah hilang. Berkali-kali membaca catatan harian: satu-satunya jalan menuju masa lalu yang masih tersisa. Namun, tetap saja aku tak bisa melengkapi cerita masa luluku itu. Segala usaha yang kulakukan selalu tak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Tapi aku tetap yakin, di sebuah kehidupan yang entah kapan dan dimana, aku pasti akan menemukannya kembali.
“Boleh aku membaca catatan harianmu?” Tanya Aya’ memecah kebekuan.
Pertanyaan itu sontak membuatku terkaget. Dalam benak aku bertanya-tanya, bagaimana ia bisa tahu bahwa aku punya buku catatan harian?
“Hampir setiap saat, aku melihat kau membaca buku catatan harian itu.” Lanjut Aya’ seakan ia bisa membaca pikiranku. Entah karena apa, tanpa kusadari ternyata aku pun menyerahkan catatan harian yang telah kumal dan lusuh itu. Ia pun tersenyum, dan menatap dalam padaku.
Halaman demi halaman kini sudah ia lewati, hingga sampai pada sebuah halaman yang sedikit lebih kumal daripada halaman-halaman yang lain. Keningnya sedikit berkerut. Matanya menatap lebih tajam. Aku tahu, ia terus berusaha untuk lebih fokus. Mencoba menembus dinding pembatas antara ia dan sesobek cerita kehidupan yang kini ada ditangnnya. Bibir mungilnya pun mulai komat kamit seperti seorang dukun yang sedang membaca mantra. Yang terdengar hanyalah desisan suara yang sedikit tertahan.

*****
Malam makin larut dalam dingin. Udara terasa kaku, beku. Sementara detak jantung dan aliran darah, tak lagi mampu mengusir dingin yang merasuk di tubuhku. Hanya pori-pori yang kian meregang karena kedinginan.
Sungguh tak bisa kuingkari bahwa dingin telah memintaku untuk selalu merindukanmu. Sampai sejauh ini, pun alasan inilah yang membuatku masih bertahan, bertahan dari hidup yang bergerak, menjauh, melesat ke luar pikiran kita. Hingga, segala yang ada hanyalah nampak sebagai tali-temali dari kebohongan-kebohongan belaka. Selalu, tak bisa kita terka.
Tapi, seperti bintang di angkasa, ia akan terus menyala selama gelap masih ada. Meski suatu saat kita menyaksikannya tiada, bukan berarti ia telah hilang begitu saja. Mungkin, mata kita yang tak mampu lagi menjangkaunya. Sebab, ia hanya selalu ada, bagi mata yang mau merasa. Mata yang melebihi dari sekedar mata biasa. Ia tak telanjang, tapi ia mampu menelanjangi segala yang di tatapnya.
Begitu juga dengan rasa ini, sesuatu yang telah kau tinggalkan disini. ia masih setia menyusun langkah di bulan-bulan yang beku, di bulan-bulan yang tak pernah ada di masa lalu. Memang, ia tak akan mampu melelehkan beku batu-batu di tubuhku. Tapi setidaknya, ia adalah kekuatan untuk sekedar bertahan, hanya sekedar, tapi mungkin untuk seumur hidupku. Bersamanya, akan kukemas dingin, jadi kristal salju yang akan kau jumpai pada setiap tatapan bening dari mata-mata yang memandang.
Shofiya!
Kau perempuan yang tak begitu cantik, perempuan yang tak begitu menarik, perempuan yang tak begitu menggoda untuk diculik. Namun rasa ini telah merubah segalanya, merubah ia yang biasa-biasa menjadi sesuatu yang unik. Rasa ini telah memilih ia yang sederhana, menjadi sesuatu yang sungguh tak dinyana.
Rasa ini telah menjadikan ia sebagai sesuatu yang patut didambakan semua orang, setidaknya oleh diriku sendiri. Dimataku, yang bukan mata biasa-biasa ini, ia telah menjelma sesuatu yang luar biasa. Sungguh, ia begitu indah. Ia mengingatkanku pada masa laluku yang entah pada tahun keberapa, pada seorang peremmpuan jelmaan seorang dewi yang tersesat di bumi, dan telah tinggal di benakku dalam jangka waktu yang cukup lama.
Shofiya !
Ketahuilah, rasa ini telah memilihmu. Berilah ia sedikit ruang di hatimu, untuk ia bisa hidup dan tumbuh tak jauh dari yang kau inginkan. Namun, seperti halnya bunga-bunga, ia juga seperti selayaknya tetumbuhan yang lain, membutuhkan tempat agar ia bisa tumbuh, sebelum kemudian ia menghasilkan bunga-bunga yang selalu bermekaran di hati semua orang.
Sungguh, sampai saat ini kau masih nampak begitu sempurna. Ah! Sebenarnya aku tak ingin mengungkapkannya. Bagiku, kau hidup di luar bahasa dan waktu. Kau melebihi dari sekedar bahasa dan segala duga. Hingga tak ada satupun dari bahasa manusia yang kupercaya untuk menampung hidupmu, bahkan bahasaku sendiri. Sebab, bahasa tak akan pernah terlepas dari usia. Dan demi usia, sedikit demi sedikit bahasa akan terkelupas sia-sia. Maka biarlah aku menemuimu dalam segala masa, dalam suatu wilayah tak bernama yang selalu ada di mana-mana.
Shofiya !
Kau akan terus hidup jauh di dalam diriku. Membuat hatiku gemetar tak tenang, atau mungkin kaulah getaran itu sendiri. Sebuah getaran yang terus meronta-ronta. Sebuah getaran yang tak bisa kutebak dari mana asalnya, meski aku tahu dimana tempat tinggalnya. Tapi, teruslah tetap hidup didalam diri ini. Teruslah bergerak sebagai kesetiaan, sebagai penghuni sejati kamar kecil yang tak selamanya selalu terbuka bagi siapa saja. Persetan dengan ruang dan waktu, biarlah ia mengalir sendiri, toh sudah bertahun-tahun ia selalu memaksa kita untuk selalu buru-buru.
Shofiya!
Kau telah bekukan udara di sekitarku, kau sepuh langit dengan warna biru beku. Aku kedinginan, akhirnya akupun merindukanmu. Hingga selalu setiap yang kutatap adalah wajahmu. Kau selalu hadir, dan selalu hadir sebagai alasan kegelisahanku, sebagai alasan kerinduanku yang takkan pernah reda hanya gara-gara kehadiranmu yang tak pernah tiba.
Maka jangan pernah kau bosan membuatku gelisah. Betapa nikmat kegelisahan ini. Kegelisahan yang lain dari kegelisahan-kegelisahan yang pernah dibawakan waktu untukku. Aneh memang! Tapi sungguh telah membuatku ketagihan. Akulah pecandu yang tak bisa membedakan antara penawar dan racun. Akulah si gila, yang tak menginginkan kesembuhan.
Shofiya! memang jarak telah memisahkan kita. Tapi jarak pulalah yang telah merawat cinta kita. Kelak, ketika kau kembali, jangan sampai ada air mata.

*****
Perlahan cairan bening dari sudut mata Aya’ membasahi pipi putihnya. Entah apa sebabnya. Aku tak begitu pintar untuk menebaknya. Ia menoleh padaku. Matanya yang masih berkaca-kaca, menatap dalam padaku.
“Dimana Shofiya sekarang?” tanya Aya’ seraya mengusap air matanya.
“Entah, aku tak bisa mengingatnya lagi. Bahkan, aku juga tak ingat kapan aku pernah begitu mencintainya. Hanya sepengggal saja yang tersisa di benakku. Ada bekas luka bakar pada jari manis tangan kirinya.”
“Luka di badan dapat terhapus, tapi tidak dengan luka di hati,” jawabnya dingin. Lantas, ia pun pergi. Tanpa senyum, dan tanpa salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline