Lihat ke Halaman Asli

Fanatisme dan Matinya Logika Pasca Pilpres 2014

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 merupakan Pilpres paling panas sejak Pilpres pertama tahun 2004 lalu.  Mungkin karena Pilpres 2014 hanya terfokus pada dua calon presiden. Kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi ikut andil dalam memanaskan pilpres kali ini. Saling serang, saling hujat, dan saling umpat menjadi biasa di media sosial. Perang opini juga terjadi di media elektronik dan media cetak, yang terbelah menjadi pendukung kedua calon presiden.

Pilpres 2014 melahirkan banyak  pendukung fanatik dari kedua kubu calon presiden. Fanatik artinya keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran (politik, agama, dsb).  Fanatik itu subjektif, bukan objektif. Subjektif artinya melihat suatu hal hanya berdasarkan rasa, bukan fakta. Fanatik itu emosional, bukan rasional. Di sini logika dan akal sehat telah mati, tercekik oleh emosi.

Dalam hal dukung mendukung capres, fanatisme  hanya bisa melihat kelebihan capres yang didukung, tanpa bisa melihat kekurangannya. Sebaliknya, fanatisme hanya bisa melihat kekurangan capres lawan, tanpa bisa melihat kelebihannya.

Bagi pendukung fanatikJokowi , yang terlihat hanyalah kelebihan Jokowi dan kekurangan Prabowo. Artinya apapun yang dilakukan oleh Jokowi akan terlihat baik, dan apapun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat buruk. Begitu pula bagi pendukung fanatik Prabowo, yang terlihat hanyalah kelebihan Prabowo dan keburukan Jokowi. Artinya apa pun yang dilakukan oleh Jokowi akan kelihatan buruk, dan apa pun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat baik.

Fanatisme ini sepertinya berlanjut walaupun pemilu presiden telah usai, dan Jokowi telah resmi menjadi presiden Indonesia. Para pendukung fanatik bermetamorfosis menjadi Jokowi liker (pro Jokowi) dan Jokowi hater (anti Jokowi). Para Jokowi liker selalu mendukung kebijakan Jokowi. Sementara Jokowi hater selalu menentang setiap langkah Jokowi.

Bagi rakyat Indonesia yang belum terjebak ke dalam salah satu kubu pendukung fanatik, ada baiknya berfikir secara logis. Artinya, dalam mendukung atau menentang kebijakan Jokowi janganlah membabi buta. Dukunglah jika kebijakan itu benar, dan kritiklah jika kebijakan itu salah. Jika meminjam istilah SBY, Tidak waton suloyo (tidak asal membantah).

Indonesia, 21 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline