Pengalaman berbincang dengan anak sendiri, umumnya tak dianggap sebagai proses belajar. Berbincang dengan anak memang sudah lumrah. Bagaimana mungkin orang-orang yang hidup serumah tak saling sapa?
Bagi saya, berbincang dengan anak menjadi proses belajar. Kali ini, saya temukan proses merdeka belajar melalui perbincangan saya dengan anak.
---
"Masak temenku belum ngumpulin satu tugas pun, Bu," ujar anakku awal pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Ya coba ditanya, ada apa. Mungkin temanmu punya kesulitan," tanggap saya.
Anak perempuan saya mulai menghubungi teman itu. Proses tanya-tanya berlangsung. Hasilnya tak memuaskan. Alasan tak mengerjakan tugas tak jelas, temannya memilih tak mau dibantu. Anak saya memutuskan untuk menghormati keputusan temannya.
Kali lain dia bercerita bahwa seorang teman yang tak dekat dengannya menghubungi secara japri. Teman itu khawatir tugasnya tak diterima guru, karena mengirim email lewat dari waktu yang ditentukan. Rupanya anak saya mencoba melakukan satu-dua hal agar tugas temannya dapat diterima guru. Akhirnya tugas teman itu masih dapat diterima. Anakku lega.
Kian hari, anakku semakin banyak bertanya. Ia bertanya tentang banyak hal. Lebih banyak tak terkait materi pelajaran.
Sebagian pertanyaan, saya atau bapaknya mau menjawab. Sebagian lainnya kami minta agar dia mencari tahu sendiri.
Semakin hari, dia semakin suka nonton berita di TV. Jika ada pertanyaan, dia akan menyampaikan dulu informasi yang sudah didapatnya. Lantas kami berdiskusi.
Anak saya justru banyak berkembang selama belajar dari rumah. Saya tak banyak ikut campur dalam pelajaran sekolahnya, apalagi bertanya nilainya.
Saya senang melihat anak saya memiliki kurikulum sendiri, tak terbatas kurikulum sekolah. Ia membuka pintu menuju dunia luas, tak terbatas pelajaran di kelas.
Apakah ini masalah? Tentu tidak.