Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, kita pernah akrab dengan ungkapan yang melibatkan sendal jepit. Yakni ketika dikatakan, "Walaupun SBY dipasangkan dengan sendal jepit, akan menang". Maknanya bahwa pemimpin kala itu telah berhasil meninabobokan masyarakat. Entah dengan memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Menaikkan dan menurunkan premium berkali-kali. Atau dengan meluncurkan lagu-lagu baru.
Dikatakan kala itu, "Negara Auto Pilot".
Adakah yang telah mencuri dengar dari ucapan seseorang yang berkata, "Jangan pernah merasa lebih pintar dari masyarakat". Di negara autopilot pemimpin begitu yakin pada rakyatnya. Dan memang negara ini sediaan orang pintar, sudah melebihi ambang yang diperlukan. Jadi agak aneh kalau akhir-akhir ini ada kehendak untuk men-drop negara ini dengan TKA yang katanya kemampuannya melebihi rata-rata.
Sendal jepit itu, semacam simbol kepuasan masyarakat. Yang merasa tidak terlalu diganggu. Mungkin saja lagu-lagu itu sedikit menganggu. Tapi itu kalau didengar terlalu lama saja. Saat itu masyarakat tidak dicekoki dengan doktrin yang berapi-api. Mengenai bagaimana negara harus ditata.
Tentang kereta api yang wajib secepat kilat, misalnya. Soal laut, yang konon dapat diubah menjadi jalan bebas hambatan. Soal jalan tol yang dapat memakmurkan dan dapat menyengsarakan. Tentang masyarakat setengah bodoh, yang dapat disubsidi dengan tenaga kerja asing. Tentang ide-ide pintar lainnya.
Saat itu, masyarakat amat dipercaya.
Bukankah kelak ada yang berucap "Jangan merasa lebih pintar dari masyarakat".
Hari ini, seharusnya lagu sendal jepit itu diputar kembali. Namun ia tak terdengar. Sayup-sayup pun tidak. Sebab hari ini kita tidak ingin bernyanyi. Apalagi memikirkan sendal jepit.
Bukan langkah kaki yang kita cemaskan. Karna boleh jadi, tanah yang kita diami sedang gemetar. Ketika paku-paku raksasa ditanamkan menghunjam rahim bumi. Namun kita tak yakin benar, apakah paku-paku itu akan mengokohkan, mengukuhkan pijakan kita. Dan sudah, paku-paku itu sebagian runtuh.
Ambrol. Ketika tinta untuk mencatat hutang paku itu, belum kering dari kuitansinya. Belum lagi catatan-catatan kaki di kuitansi itu. Oh, perih sungguh. (Jangan katakan ini pada Ibu Pertiwi, nanti ia menangis).
Kita membayangkan sendal jepit yang lain. Yang Lain.