“Demokrasi tidak akan lenjap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tengapnja”
-Mohammad Hatta
Lima tahun pasca kemerdekaan, negara Republik Indonesia Serikat hasil bentukan konferensi meja bundar dibubarkan. Digantikan oleh Republik Indonesia yang menganut sistem demokrasi parlementer dengan berlandaskan UUD Sementara 1950. Beberapa tokoh pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir mengusung gagasan demokrasi parlementer karena dianggap cocok dengan kondisi Indonesia saat itu. Demokrasi parlementer artinya parlemen sebagai fungsi pelaksana pemerintahan tertinggi dan presiden sebagai kepala negara. Pemerintahan demokrasi parlementer memberikan keleluasaan kepada rakyat Indonesia untuk berkecimpung dalam urusan politik, sehingga pada masa tersebut banyak instrumen partai politik seperti PNI, Masyumi, NU, PKI, dll. Kala itu partai politik merupakan sebuah wadah untuk mewakili suara rakyat. Dalam menjalankan pemerintahan, partai politik dianggap menjadi representasi rakyat sehingga dapat terwujud demokrasi yang sesungguhnya. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Sembilan tahun (1950-1959) pemerintahan demokrasi parlementer mendapat banyak kritik dari rakyat. Maraknya pergantian kabinet di era demokrasi parlementer –atau dalam nama lain disebut demokrasi liberal, menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri. Tidak adanya kekuatan partai politik yang dominan menyebabkan Presiden Soekarno bersikap mengambang dalam mengambil keputusan. Demokrasi liberal tamat pada tahun 1959 setelah dewan konstituante tarik ulur perihal penetapan dasar negara baru pengganti UUDS 1950. Kemudian terbentuklah sistem baru dengan presiden sebagai pusat kepemimpinan yang disebut demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin adalah gagasan Bung Karno sejak 1926 untuk menjembatani kaum marhaen pada kemerdekaan ekonomi dan politik. Disamping itu, demokrasi terpimpin merupakan kritik Bung Karno terhadap demokrasi parlementer yang dianggap impor dari luar dan melindungi sistem kapitalisme, karena saat itu parlemen dikuasai oleh segelintir borjuis. Gagasan Bung Karno tentang demokrasi pada mulanya dirumuskan dengan sosio-demokrasi, yang berarti merdeka secara ekonomi dan politik. Dalam pandangan Marxisme, rakyat diberi kebebasan dalam berpolitik, namun dalam hal ekonomi rakyat masih mengalami penindasan oleh kaum borjuis. (Ilmar dalam jurnal Demokrasi Terpimpin Dalam Pemikiran dan Praktik Politiknya)
Demokrasi terpimpin terwujud ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan dasar hukum Pancasila dan UUD 1945. Tujuan awal Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin adalah mewujudkan pemerintahan yang terarah agar pembangunan nasional dapat terlaksana. Sama halnya pada bidang ekonomi, yakni ekonomi terpimpin untuk menghindari praktik kapitalisme dan liberalisme. Demokrasi terpimpin berpondasi pada tiga pilar utama, yakni NASAKOM. Nasionalisme yang diwakili oleh kelompok nasionalis Indische Partij, Agama yang kala itu umat Islam sebagai golongan mayoritas, dan Marxisme-Komunisme yang kala itu berjaya adalah Partai Komunis Indonesia.
Kisah kepemimpinan Bung Karno pada era demokrasi terpimpin banyak diceritakan di buku maupun artikel sejarah. Era tersebut merupakan fase yang sulit bagi dunia perpolitikan Indonesia. Negara yang digadang-gadang demokratis terasa semakin jauh dari makna kebebasan itu sendiri, bahkan menuju ke negara otoriter dengan presiden sebagai kekuatan politik terpusat. Sistem demokrasi terpimpin diharapkan dapat mewujudkan pembaharuan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konsepsinya, pembentukan kabinet menitikberatkan keseimbangan kekuatan masyarakat, akan tetapi, pada realitanya mengalami penyelewengan dan melanggar isi UUD 45.
Konsepsi politik Bung Karno yang makin nyeleweng dari makna demokrasi memicu keretakan hubungan Bung Karno dan Bung Hatta. Hubungan keduanya merenggang sejak Bung Karno mengajukan gagasan demokrasi terpimpin. Menurut Bung Hatta, demokrasi terpimpin menunjukkan pertentangan idealisme dan realita. Dari segi idealisme, demokrasi terlaksana sebaik-baiknya dan menciptakan kemakmuran rakyat yang seluas-luasnya, padahal realita menunjukkan bahwa pemerintahan demokrasi terpimpin semakin menjauh dari hakikat demokrasi itu sendiri. Puncak keretakan dwitunggal adalah ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956. Dwitunggal yang bermanuver menjadi dwitanggal.
Beberapa tahun setelah angkat kaki dari Istana Merdeka, Bung Hatta mengkritik kepemimpinan Bung Karno dengan menulis esai yang diberi judul Demokrasi Kita. Esai tersebut pertama kali diterbitkan tahun 1959 oleh majalah Pandji Masyarakat (nantinya majalah tersebut dibredel Bung Karno).
DEMOKRASI KITA