Lihat ke Halaman Asli

Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal

Diperbarui: 20 April 2016   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas  adat  mengenal  adanya  beragam  status penguasaan  dan pemanfaatannya.   Bentuk   dan   status   penguasaan   sumber   daya   alam   dapat dibedakan menjadi 4 yaitu: milik umum (open acces), milik negara (state), milik pribadi atau perorangan (private), dan milik bersama (command).

Menurut pandangan dunia terhadap beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumber daya milik umum tidak ada pemiliknya, sumber daya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik. Kelembagaan lokal tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pada berbagai komunitas bersifat  sistematik  dan  holistik  karena  keberadaan manusia dipandang  tidak terpisah dari alam, tetapi sebagai bagian integral yang tidak bisa dipisahkan darialam.

Sumber daya alam pada hakikatnya memiliki nilai ekonomis bila dikelola menjadi barang baru. Namun, pengelolaan dan pengolahan yang dilakukan oleh manusia cenderung mengeksploitasi secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa mendatang. Mengingat setiap orang memperoleh akses yang sama maka sumber daya alam dieksploitasi dengan cara yang berlebihan. Pengeksploitasian sumber daya alam secara berlebih berujung pada terjadinya tragedy of common (Hidayat, 2011).

Dewasa ini pembicaraan tentang kearifan lokal dalam mendukung kemajuan bangsa makin mendapatkan perhatian. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang  berwujud   aktivitas   yang  dilakukan   oleh   masyarakat   setempat   untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Disamping itu kearifan  lokal  dapat  pula  dimaknai  sebagai  sebuah  sistem  dalam  tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal sifatnya dinamis, berkelanjutan, dan diikat dalam komunitasnya (Wagiran, 2011).

Pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal berarti dalam mengeksploitasi sumber daya alam harus dilaksanakan konsep kearifan lokal yaitu dengan cara menetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai wilayah yang harus dijaga kelestariannya dan tidak dapat dieksploitasi untuk dimanfaatkan sebagai penjaga ekosistem hutan disamping adanya hutan yang dimanfaatkan sebagai lokasi pembudidayaan hasil produksi hutan khususnya rotan. Selain itu, pengelolaan  sumber  daya  alam  harus  mempertimbangkan  dampak  yang  akan terjadi di masa depan yang diakibatkan oleh tindakan pengelolaan sumber daya alam saat ini. Hal tersebut didukung oleh teori aksi dan reaksi. Suatu aksi akan mempengaruhi reaksi yang akan terjadi.

Sistem   kearifan   lokal   juga   mendorong   untuk   diterapkannya   sistem budidaya terhadap sumber daya alam khususnya rotan yang sebagian besar masih diperoleh dari hutan. Eksploitasi rotan yang  telah dilakukan menyebabkan hasil produksi hutan berupa rotan semakin berkurang setiap tahun. Untuk mengatasi permasalahan   tersebut   maka   pemerintah   mengeluarkan kebijakan   berupa Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia NOMOR 12/M- DAG/PER/6/2005   Tentang   Ketentuan Ekspor   Rotan.   

Pemerintah sebagai sektor yang berwenang membuat suatu regulasi harus memiliki komitmen yang kuat dalam pengelolaan SDA ini, karena tingginya tingkat eksploitasi di Indonesia baik SDM maupun SDA . Salah satu contoh eksploitasi SDA yaitu PT Freeport, dimana kekayaan alam tanah papua terus diambil, sementara sarana infrastruktur masih jauh dari memadai. SDM  yang terus dieksploitasi yaitu bangsa ini hanya menjadi buruh di tanah sendiri sedangkan manajer dan pengelola perusahaan adalah orang asing. Banyak perusahaan Indonesia yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh asing meskipun berlabelkan milik negara. Apabila hal ini tidak segera dicegah pastilah seluruh perusahaan Indonesia yang berlabelkan milik negara hanya sekedar label sedangkan lebih dari 50% sahamnya dimiliki oleh asing. Hal ini adalah sebuah realita yang begitu ironis bangsa yang dikatakan kaya tetapi menjadi buruh di negara sendiri dengan hutang mencapai triliyunan.  Sekarang siapa yang salah? semua saling menyalahkan. Sedangkan rakyat yang tidak tahu apa-apa harus menerima kondisi ini, sementara pihak-pihak tertentu menikmati keuntungan dari hal ini. 

Eksploitasi terus menerus dalam jangka panjang pasti akan  berdampak pada ekosistem,pada akhirnya rakyat yang menderita karena sudah jadi buruh didukung pula oleh dampak negatif yang akan mengancam kehidupan mereka seperti ancaman penyakit dll. Saat ini bukanlah saatnya mencari siapa yang bersalah akan tetapi bagaimana upaya untuk mencegah eksploitasi ini menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan kebutuhan. Pencegahan terhadap eksploitasi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Akademisi sebagai pihak yang memahami teori ideal harus berperan untuk mendukung pemerintah melalui berbagai upaya peningkatan informasi dan pemahaman kepada seluruh masyarakat mengenai dampak negatif yang akan diterima apabila hal ini dibiarkan terus-menerus. 

Tugas kita sebagai pemuda pemudi adalah bagaimana mengelola SDA yang dimiliki melalui pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline