Lihat ke Halaman Asli

Della Puspita

Mahasiswa

Quo Vadis Informed Consent dalam Kesehatan Reproduksi: Husband Stitch

Diperbarui: 19 April 2022   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dok. healthline.com

"Nggak, nggak. Yang Ikhlas, Mbak. Ini dijahit biar hasilnya bagus, nanti suami suka." kata seorang bidan kepada Kurnia Rachmawati, seorang ibu yang menerima jahitan sebanyak tiga kali tanpa ada persetujuan. Dalam kejadian tersebut, Kurnia Rachmawati sebenarnya tidak meminta adanya tambahan jahitan pada vaginanya karena ia sudah pernah merasakan jahitan saat melahirkan anak pertama dan ia tidak dapat mentolerir nyeri jahitan pasca persalinan. Namun, faktanya ia malah mendapat tindakan medis pada vaginanya tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dan malah menambahkan rasa nyeri (Aditya, 2022). Hal ini jelas merugikan Kurnia. 

Kejadian tersebut merupakan salah satu kasus kejadian husband stitch. Perempuan menerima tindakan yang tidak sesuai dengan persetujuannya. Lalu, dimanakah letak informed consent

Apa itu husband stitch

Istilah husband stitch sendiri berawal pada tahun 1950-an (Dobbeleir et al, 2011). Istilah ini populer setelah muncul artikel berjudul "The Husband Stitch" di Granta (Machado, 2014). Artikel tersebut menceritakan mengenai perjuangan perempuan di tengah kehidupan yang penuh dengan bias patriarki, salah satunya ketika ia melakukan persalinan. Mulanya, metode ini dianggap sebagai mitos di dunia kesehatan sampai seorang ginekolog melaporkan kasus ini dalam jurnalnya. (Rigby, 2021)   

Akar permasalahan dari Husband Stitch sendiri berada pada bias patriarki dan absennya informed consent khususnya terhadap perempuan yang lazim kita temui sehari-hari, bahkan pada praktek persalinan. Pada dasarnya, setiap persalinan harus mengutamakan kepentingan ibu dan anak. Namun yang terjadi malah sebaliknya, banyak tenaga kesehatan yang menambahkan jahitan pada vagina untuk menjaga ukuran dan bentuk vagina sehingga meningkatkan kenikmatan laki-laki dalam hubungan seksual. 

Hal inilah yang kita kenal sebagai husband stitch, yakni jahitan ekstra yang diterima perempuan untuk memperbaiki robekan terhadap vagina khususnya yang dialami sesaat sesudah melahirkan untuk kenikmatan laki-laki semata.

Dampak husband stitch

Berbagai dampak atau komplikasi akibat husband stitch tidak dapat dihindari. Dampak ini antara lain seperti rasa sakit berlebih pada bekas sayatan, meningkatnya pendarahan, kebocoran urine atau feses, pembengkakan di bekas sayatan, rasa sakit saat berhubungan intim. Tambahan jahitan tersebut juga menimbulkan komplikasi terhadap alat reproduksi atau vagina perempuan yang mengalaminya, seperti merasakan perih atau peningkatan rasa sakit akibat sayatan, pendarahan persisten dan munculnya tanda-tanda infeksi di lokasi sayatan. Lalu dimanakah keberadaan informed consent? Pada nyatanya dunia medis tidak mengenal istilah "bonus jahitan" atau husband stitch.

Dilema tindakan penambahan jahitan pada vagina.

Dalam perkembangannya, tindakan penambahan jahitan ini mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Pemberian husband stitch kerap kali dilakukan tanpa seizin dan sepengetahuan perempuan yang baru melahirkan. Hal ini mengindikasikan terdapat absen atau ketiadaan informed consent antara pasien dengan tenaga kesehatan. Padahal, sangat jelas bahwa informed consent merupakan hal mutlak yang harus ada sebelum tindakan medis dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada pasien sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline