Dakwah bukanlah suatu hal baru dalam rentang kehidupan umat manusia. Kegiatan tersebut tentu sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, karena tidak harus dilakukan pada kesempatan formal di majelis taklim, pengajian, atau sejenisnya (Nugroho & Masrukan, 2018). Dakwah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian yang majemuk. Dakwah adalah penyiaran; propaganda; penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Hal ini berarti, dakwah diwarnai dengan ajakan-ajakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sehingga dakwah mengandung unsur mendidik, maka perlu disampaikan dengan cara yang baik agar tidak membekaskan luka atau hal yang tidak diinginkan pada setiap orang yang dididik. Penyampaian dakwah pun penting untuk memperhatikan subjek atau penerima materi dakwah, waktu dan tempat, sehingga seorang pendakwah mampu menyesuaikan sikap dan pemilihan kata yang tepat kepada mereka.
Berbicara mengenai pemilihan kata, berarti tidak jauh dari gaya bahasa. Gaya bahasa dapat didefinisikan sebagai kekhasan seseorang dalam menyatakan pikiran dan perasaannya ketika berbicara maupun menulis. Dalam berdakwah, tentu gaya bahasa satu ulama dengan ulama lainnya memiliki perbedaan. Masing-masing memiliki "keunikannya" sendiri, sehingga membuat orang-orang terpikat oleh dakwah yang disampaikannya. Keunikan ini harus pula ditunjang oleh metode dakwah yang memperhatikan kode etik dan prinsip-prinsip berdakwah. Akan disayangkan apabila dalam sebuah dakwah terdapat kalimat-kalimat provokatif yang dapat menimbulkan pro dan kontra pada umat.
Pada saat ini, santer dibicarakan mengenai video ceramah Habib Rizieq Syihab (HRS) yang menyinggung soal sosok yang menghinanya dengan kata kasar. Penggunaan kata sebutan perempuan nakal yang dilontarkan oleh HRS dalam ceramahnya ini menuai banyak kritik. Di antaranya Menteri Agama Fachrul Razi, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily, Ketum GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas, Rabithah Alawiyah (Wadah Habaib Se-Indonesia), hingga Stafsus Presiden Diaz Hendropriyono, menilai ucapan tersebut tidak sopan, tidak elok, dan tidak pantas apabila dibawa-bawa dalam sebuah forum keagamaan. Apalagi dalam rangka memperingati Maulid Nabi yang seharusnya membicarakan seputar nabi. Tidak hanya itu, seorang tokoh panutan yang disebut sebagai Dzurriyah Nabi Muhammad, seharusnya berujar sesuai norma yang baik dan tidak sepantasnya berujar demikian.
Bukan hanya menggunakan kata kasar yang terkesan merendahkan perempuan, ia juga menyangkutkannya dengan polisi yang saat itu bertugas menjaga rumah sosok perempuan yang tengah berseteru dengannya. Sekiranya begini ucapnya, "Ditangkep enggak, dijagain iye. Jangan-jangan minta jatah kali. Kacau-kacau...". Hal tersebut dapat disebut melenceng jika dipandang dengan kacamata metodologi dakwah. Prinsip-prinsip dakwah harus mengedepankan sisi kemanusiaannya di antaranya ialah tidak menghakimi dan tidak provokatif. Serta menggunakan perkataan yang halus, tidak mengejek atau melecehkan, menyalahkan, atau pun menyudutkan seseorang (Said, 2015). Sedangkan melalui cuplikan kalimat tersebut, tersirat makna yang tidak baik, prasangka buruk akibat tidak adanya bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak mendidik sama sekali.
Tutur kata begitu penting bagi seorang ulama, dai, mubaligh, habib, ataupun pendakwah ketika menyebarkan ilmu agama. Tutur kata dapat dikatakan sebagai bagian dari bentuk akhlak seseorang. Disebut pula sebagai pedang bermata dua, bisa mematikan atau mengangkat derajat seseorang. Penggunaan sebutan kasar dalam sebuah forum keagamaan oleh HRS tentu tidak dapat dibenarkan meskipun beliau tokoh agama yang memiliki banyak penganut. Apalagi seorang pendakwah tentu dibekali pengetahuan, pelatihan, dan pengalaman untuk mengeluarkan argumentasi yang tidak menyimpang dan sesuai dengan porsinya agar tidak menimbulkan pro dan kontra, bahkan memecah belah umat.
Meski menurut HRS gaya bahasa yang dipakainya dapat lebih mudah dipahami, tidak ada jaminan bahwa semua kalangan masyarakat pendengar mau dan mampu untuk menerimanya. Sehingga cerdas dalam memilih kata merupakan salah satu langkah penting dalam berdakwah agar dapat diterima, meresap, dan mengedukasi masyarakat.
Referensi
Nugroho, A., & Masrukan, F. (2018). Studi Metode Dakwah Ceramah Persuasif yang digunakan Ustad Jamil di Masjid At-Tauhid Betiting Surabaya pada Pengajian Kitab Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah Jawa Timur. Jurnal Masjiduna, 1(1), 16--31.
Said, N. M. (2015). Metode Dakwah (Studi Al-Qur'an Surah An-Nahl Ayat 125. Jurnal Dakwah Tabligh, 16(1), 78--89.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H