Sabtu sore, minggu kedua di bulan April. Kala menulis ini, aku tengah ditemani tembangan milik Tulus, Satu Kali judulnya. Omong-omong tentang Tulus, dari kesepuluh lagu di album Manusia, Satu Kali dan Nala adalah favoritku. Apa, ya, Satu Kali punya lirik yang comforting, dengan nada yang seru. Rasanya seperti diajak berjalan pelan-pelan sambil mengobrol, setelah seharian berlari kencang mengejar entah-apa. Kalau Nala, ada penggalan lirik yang simply caught my attention saja.
Nala figur sederhana.
Tak ramai kelilingnya.
Sembilan dua lahirnya.
Hari besar baginya bila melihat benih cinta.
Bagi Nala itu langka.
Mungkin pesan cerita yang disampaikan di sini yang membuat lagunya menarik. Nadanya juga sedap didengar. Makanya, Nala jadi salah satu lagu yang merajai chart bulan Maret dan April-ku (setidaknya sampai saat ini).
Eh, omong-omong, bukan ini yang mau kubicarakan. Aku tadi sempat terpikir untuk bikin review album Manusia dari perspektif orang yang buta musik, sih, tapi enggak jadi (bukan itu yang mau kubahas di sini). Ya, aku enggak begitu paham mengenai musik. Meski begitu, musik rasanya seperti bagian dari diriku. Hehehe. Aku suka mendengarkan musik saja. Ragam genre, ragam cerita. Ah, jadi ke mana-mana.
Tentang judul yang kusematkan di atas. Aku mau berbagi resahku yang belakangan ini mengganggu banget. Mau sambil mencari patron yang sekiranya dapat diambil dari hal-hal yang minggu ini lewat-lewat di kepalaku.
Kebanyakan makan angan. Aku rasa, aku terlalu banyak diberi makan angan dan, meski sadar itu enggak terlalu baik buat laju hidup, aku tetap melakukannya. Oke, jadi begini, sejak kecil, agaknya enggak sedikit orang yang bilang aku anak yang berbeda. Berbeda dalam artian baik. Pelaku utama dari kejadian ini adalah Bapak, kurasa. Bukannya enggak bersyukur. Punya Bapak yang enggak pernah berhenti memupuk anaknya dengan mimpi setiap pagi adalah hal yang menyenangkan. Aku bersyukur punya Bapak yang seperti Bapak. (Orang tuaku paling keren satu dunia!)