"Memasak seharusnya dilakukan dengan cinta!"- Spongebob Squarepants.
Barangkali banyak pihak tak menyadari, bahwa episode dari setiap kartun Spongebob mengadung banyak makna yang filosofis. Misalnya saja, pada episode "Krabby Patty Beku".
Dalam tayangan tersebut, diceritakan Tuan Crabs yang merupakan seorang tokoh dengan ideology kapitalis memutuskan bekerja sama dengan para pemodal lain, untuk memproduksi massal krabby patty instan dengan cara dibekukan.
Krasty Crabs yang awalnya tempat makan bagi para pekerja dan masyarakat kelas bawah di Bikini Bottom, harus beralih fungsi menjadi sebuah museum dan pabrik produksi krabby patty beku. Melalui iklan, kawanan pemodal ini mengekonstruksi makna bahwa sesuatu yang instan sudah pasti modern.
Sebagai koki yang mencintai pekerjaanya, Spongebob harus kehilangan pekerjaan karena kemampuan memasaknya digantikan oleh mesin demi sebuah efisiensi. Ditengah film diketahui bahwa krabby patty beku terbuat dari bahan berbahaya dan menyebabkan pembengkakan bokong, namun sejalan dengan imajinasi yang diciptakan dalam film ini, penyakit tersebut dapat hilang setelah mengonsumsi krabby patty Spongebob yang dibuat dengan cinta.
Bila diamati dalam kacamata kritis, episode ini sesungguhnya mengandung kritik sosial yang tajam kepada berbagai restoran cepat saji, yang tumbuh dan berkembang begitu massif hari ini. Konsep cepat saji yang diusung oleh berbagai restoran fast food lebih memperhatikan kuantitas produk dan efisiensi pembuatan dibandingan dengan kualitas rasa dari produknya.
Karakter Spongebob yang digambarkan selalu mengedepankan cara memasak dengan cinta mungkin dapat menjadi kritik telak bagi budaya masak yang dibangun di restoran cepat saji. Perhatikan saja bagaimana tempat produksi makanan atau dapur pada restoran cepat saji yang dibuat tidak terlalu besar.
Dimana tempat pengolahan menu yang berbeda antara satu dan lainnya hanya dipisahkan oleh sekat-sekat, yang diatur sedemikian rupa untuk efisiensi ruang gerak para kokinya. Selain itu, mereka tidak perlu berasal dari kalangan yang jelas memiliki keahlian dan kecintaan dalam memasak.
Di dapur restoran cepat saji, semua orang dapat menjadi koki karena segala resep yang ada di dalam daftar menunya, sudah diukur dan terukur oleh perusahaan.
Mereka hanya tinggal menjalankan resep sesuai metode yang diterapkan dan tetapkan oleh perusahan tanpa harus mengetahui komposisi, takaran dan kandungan gizi dari makanan yang dibuatnya hampir setiap saat.
Budaya masak yang begitu kaku ini, disebabkan karena para pekerja yang berada di ruang produksi hanya dianggap sebagai bagian dari alat untuk mengakumulasi keuntungan saja.