Lihat ke Halaman Asli

Hendra Mahyudhy

Deliriumsunyi

Joker, Labirin Panjang Kegelapan

Diperbarui: 11 Oktober 2019   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warner Bros

"Seniman adalah seseorang yang bekerja memperdalam misteri," - Francis Bacon.

Menonton film Joker ibarat menelanjangi diri sendiri dan mempertanyakan kepada diri kita, "Apa benar hidup ini sepenuhnya baik-baik saja?" Tak usah diceritakan ke orang lain, cukup kita sendiri yang menjawabanya di dalam hati.

Sementara itu, terlepas pro dan kontra Joker (2019) yang diperankan dengan apik oleh Joaquin Phoenix. Menonton Joker karya sineas Todd Philips ini seperti memahami karya-karya filsuf kenamaan, Friedrich Nietzsche dengan konsep terkenalnya Ubermensch

Merunut salah satu buku karya Nietzsche yakni Also Sprach Zarathustra terbitan Narasi (2015). Ubermensch digambarkan sebagai cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri, tanpa berpaling dari dunia, atau menilik ke seberang dunia lainnya.

Dalam hal ini, Nietzsche mencoba memangkas kepercayaanya akan bentuk dari suatu nilai adikodrati manusia dan dunia itu sendiri. Baginya manusia yang telah mencapai Ubermensch adalah manusia yang selalu mengatakan "yes" akan kebanyakan hal, lalu siap dalam menghadapi tantangan yang akan segera datang dari hidup itu sendiri.

Jadi seperti sosok Joker yang belakangan ini kontroversial di beberapa media massa dan sudut pandang pencinta film yang terbiasa dengan kosep terang dan baik-baik saja, maka Joker bukanlah selera yang layak untuk dipaksakan ditonton, atau dalam artian akan dianggap biasa saja selepas itu.

Namun bagi orang yang terlebih dahulu mahami bahwa hidup tidak hanya tentang perkara baik semata, maka Joker bagi mereka adalah serupa Ubermensch yang tidak pernah menyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang maha dasyat.

Bahkan, sang tokoh utama Joker, Joaquin Phoenix akhirnya turut memberi tanggapan terkait beberapa pertanyaan soal filmnya yang mempromosikan kekerasan. 

Dilansir dari laman bbc.co.uk, Phoenix mengatakan bahwa terkadang orang-orang suka salah dalam mengartikan lirik dari sebuah lagu. Salah mengartikan narasi-narasi dalam sebuah buku.

"Jadi saya tidak berpikir bahwa menjadi tanggung jawab pembuat film untuk mengajarkan moralitas penonton atau perbedaan antara benar dan salah," ujarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline