Program Eksodus Pengikut Ajaran gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) memang bukan perkara main-main. Nampak adanya kordinasi dan rantai manajemen yang cukup matang. Hal tersebut di dukung dengan support pendanaan dan administrasi yang rapi pula. Lihat pemberitaan beberapa media terkait adanya formulir isian di lengkapi dengan administrasi harta benda yang akan di ikut sertakan dalam program eksodus tersebut. Langkah yang diambil ini, menurut Yudhistira (Ketua Gafatar DPD DI. Yogyakarta) sebagai langkah “strategis” program Ketahanan Pangan 2014-2015. Tidak tanggung-tanggung, pulau atau daerah yang menjadi destinasi gerakan eksodus tersebut adalah Bali, Kalimantan, NTB dan Jawa Timur.
Di Kalimantan sendiri, khususnya provinsi Kalimantan Timur dalam beberapa minggu terakhir setidaknya terborngkar beberapa “tempat persembunyian” eksodus Gafatar tersebut. Asalnya pun beragam, ada yang dari DPD NTT, ada yang dari DPD Makasar, ada yang dari DPD Jawa Tengah, dan beberapa daerah lainnya di pulau jawa.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri, yang merupakan salah satu Kabupaten terkaya di Indonesia “menampung” beberapa desa hunian baru peserta eksodus GAFATAR. Diantaranya di Desa Loleng, Desa Kota Bangun, Desa Sebulu, Desa Samboja, Kota Samarinda, dan Tabang. Hal ini mungkin akan menyusul beberapa daerah lainnya mengingat apa yang disampaikan pengurus DPD DI. Yogyakarta terkait tekad dan tujuan untuk menunjukan eksistensi dan aktualisasi khususnya di bidang ketahanan pangan para anggota GAFATAR. Tidak tanggung-tanggung pula, pada beberapa daerah hunian Eksodus GAFATAR di Kab. Kukar telah berkembang pesat meski hanya dalam hitungan bulan. Terbangunnya barak-barak mess, serta di tunjang dengan tambahan alat-alat pertanian modern menjadikan gerakan ini cukup membuat “gempar” penduduk dan aparat local.
Pada hari selasa (19 Januari 2016) kemarin, Eksodus GAFATAR di Desa Samboja, Kutai Kartanegara dilakukan pembacaan Dua Kalimat Syahadat yang difasilitasi oleh Kepolisian Daerah Kaltim bekerja sama dengan Polres Kukar serta TNI, juga dari MUI dan Kemenag Kab. Kukar bekerja sama dengan berbagai elemen dan tokoh masyarakat. Rangkaian acara ini dilakukan atas desakan warga sekitar yang merasa khawatir dengan pola dan kehidupan eksodus GAFATAR tersebut terhadap kekondusifan lingkungan mereka. Karena pada sudut pandang lain, Eksodus GAFATAR ini cenderung menutup diri dan enggan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar serta adanya kegiatan yang tersembunyi. Bahkan di perkampungan baru tersebut akan dibangun sekolah, unit kesehatan, dan masjid sendiri. Akhirnya warga bersepakat untuk menolak mereka dan menuntut untuk kembali dipulangkan kedaerahnya masing-masing. Kurang lebih 200-an eksodus GAFATAR ini berasal dari DPD NTB. Beberapa diantaranya masih berusia belia dan tanpa di damping orang tua. Dalam pengakuannya di ajak oleh salah satu sepupunya.
Terlepas dari apapun kisah dibalik GAFATAR tersebut, satu hal yang dapat kita lihat. GAFATAR adalah satu dari sekian banyak gerakan yang mengambil kesempatan didalam kesempitan dan “sakit hati” masyarkat atas kinerja perekonimian dan gonjang-ganjing aliran keyakinan di Indonesia. Modusnya sederhana, adalah mereka yang sering “galau” atau punya keyakinan setengah-setengah. Atau mereka yang berkecukupan, namun mencoba merasionalisasikan ke-Esaan Tuhan tanpa melakukan pendekatan berdasarkan Al-Quran, Al-Hadits, dan Pendapat Alim Ulama.
Pengakuan mereka adalah Eks. (bekas *red) Gafatat DPD NTB di bawah Ketua Jalal, (maaf kalau salah penyebutan nama). Namun polisi menemukan buku ajaran Gafatar di salah satu TPA warga setempat.
Samarinda, 21 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H