"MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN"
Ratih Kumala mendedikasikan satu halaman khusus untuk memuat tulisan yang dicetak tebal dengan huruf kapital tersebut. Seakan-akan ia sendiri percaya bahwa pembaca novel ini akan semakin keranjingan jadi perokok atau terpantik jadi perokok baru. Hal itulah yang ikut menjadi pembahasan---lebih tepatnya topik cek-cok---di Twitter kala adaptasi filmnya keluar.
Novel ini memang menyelipkan glorifikasi pada rokok. Kandungan cengkihnya dianggap bisa menyembuhkan asma, kretek juga berhasil membuat Roemaisa bisa mengepulkan kesedihannya di udara, bahkan Tegar yang baru lulus SMP juga diberi kretek oleh bapaknya untuk teman berpikir. Di sisi lain, tak ada cerita soal perokok-perokok itu yang jadi impoten, terkena sakit paru-paru, atau bolong tenggorokannya.
Saya sendiri timbul keinginan untuk mencoba kretek dengan klobot pasca-membaca novel ini. Meski begitu, daripada karena novel, saya lebih percaya bahwa keberanian untuk merokok banyak terlahir karena bapak yang juga perokok atau semrawutnya kehidupan sehingga memaksa seseorang untuk menemukan sebuah pelarian barang sejenak.
Ide besar soal melepaskan label gender pada rokok sesungguhnya jadi hal yang begitu saya apresiasi dari novel ini. Ratih Kumala menunjukkan bahwa perempuan yang merokok tidak serta-merta nakal dan tetap bisa mempertahakan sifat feminimnya.
Orang kaya yang sedang pamer
Tema muluk-muluk soal perjuangan perempuan, sejarah kretek, hingga keberlanjutan bisnis keluarga tak akan dimulai kalau bukan karena si anak bungsu nan begundal bernama Lebas. Perjalanan menelusuri lorong waktu sesungguhnya hanya didasarkan pada ketakutannya kalau-kalau bapaknya akan jadi arwah gentayangan karena permintaan terakhirnya sebelum mati tak dituruti.
Soeraja, bapaknya yang ia panggil Romo itu kerap memanggil-manggil sebuah nama, yakni Jeng Yah. Sesungguhnya, Romonya itu telah pikun hingga dirinya sendiri kerap lupa soal igauannya tentang mantan pacarnya itu. Kekhawatiran serta kekayaanlah yang membuat Lebas dan kedua kakaknya---Tegar dan Karim---berkelana mencari Jeng Yah.
Saya kira, apabila Soeraja bukanlah pemilik kretek terbesar di Indonesia, ketiga anaknya tidak akan berlaku demikian. Apabila gaji ketiganya hanya UMR atau justru pengangguran, tentu harga tiket pesawat, bensin, tempat tinggal, makan, hingga kretek yang dibeli Lebas sepanjang perjalanan akan jadi penolakan yang logis. Terlebih, ada keyakinan bahwa si Bapak akan mati. Kenduri itu butuh duit, Bos!
Kekayaan mereka dipamerkan dengan jelas lewat kehidupan Lebas. Bayangkan saja, dia pernah kuliah jurusan bisnis, tetapi karena merasa bukan panggilan jiwanya, ia memilih pindah jurusan perfilman. Ketika jurusan perfilman tidak juga cocok dengan jiwanya, ia memilih pindah ke jurusan musik. Perlu diingat bahwa Lebas ini berkuliah di San Francisco.
Saya membayangkan kalau uang yang dihabiskan Lebas untuk membeli aksesoris Bob Marley selama kuliah dan akhirnya dibuang saja sesungguhnya bisa membantu mahasiswa Yogyakarta untuk terus berkuliah dan tak perlu cuti karena tak mampu bayar UKT. Para kapitalis itu jelas tak berpikir sampai sini.