Menanggapi aksi damai yang dilakukan oleh para dokter tanggal 29 Februari lalu, ternyata banyak menimbulkan pro dan kontra. Untuk satu perubahan, terkadang memang butuh satu perjuangan dan pengorbanan. Kalau bukan dokter yang berjuang ajar JKN menjadi lebih baik dan bisa mendatangkan manfaat buat Indonesia, siapa lagi?. Sebab pada pelaksanaannya kamilah yang terlibat dengan pasien-pasien kami. Pelayanan substandar, siapa yang mau?. Tapi Era JKN membuat pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal, jusru merugikan para pengguna asuransi ini.
Ada nada sumbang bermunculan seperti yang saya baca di satu pemberitaan bahwa aksi damai kemarin disebabkan semata-maa dokter menginginkan pendapatan yang lebih seperti yang biasa disuarakan oleh para buruh. Berita seperti ini herannya mudah sekali naik cetak dan mengkontaminasi pikiran banyak orang. Pemberitaan yang ditulis hanya mewakili sentimentil pribadi. Bagi saya berita yang tidak mengandung nilai kebenaran itulah berita sampah.
Saya tersenyum mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu, saat itu saya dan keluarga berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Di tempat itu ada pula tersedia tempat permainan anak-anak. Selagi saya masih sibuk memilih beberapa gaun batik buat anak bungsu kami, suami saya membawa anak kami yang sulung dan yang tengah untuk bermain di tempat permainan itu. Saat saya mendatangi mereka yang sedang asyik mendayung sampan di kolam permainan, maka saya mengeluarkan telpon genggam dan memotret beberapa kali untuk kemudian telpon saya serahkan kepada pembantu kami yang ikut bersama kami waktu itu. Saya dan anak bungsu kami pun segera menyewa sebuah perahu plastik dan bermain bersama di kolam itu dengan papa dan kakak-kakaknya.
Oleh pembantu diambilnya beberapa foto kami untuk mengabadikan momen tersebut. Akhirnya setengah jam berlalu, kamipun meninggalkan kolam itu. Bidan dan pembantu kami kemudian menceritakan dengan mimik geli bahwa ketika saya dan sibungsu kami masuk ke kolam permainan, ada seorang ibu yang sedang duduk di pinggir kolam berkata kepada mereka " apalah kerja ibu itu, masa suami orang di foto-foto..bagaimana kalau di lihat istrinya?".
"Lah kenapa jauh-jauh sekali ia berpikir, bahwasanya yang saya foto adalah suami orang?. Kenapa ia tidak berpikir bahwa yang saya foto adalah orang dekat, suami saya sendiri dan bukan suami orang?. Bukankah waktu saya mau memfoto mereka saya berteriak-teriak pada mereka supaya mereka fokus melihat ke arah kamera hp saya?". Astaga!. Pembantu dan bidan ternyata menanggapi celotehan itu dengan mengatakan bahwa " itukan memang suami ibu itu bu....", maka terdiamlah si ibu dan kemudian berlalu diam-diam dari mereka.
Sering sekali kita menjumpai orang-orang seperti ibu ini, memiliki sudut pandang sendiri. Jauh-jauh memikirkan sesuatu berdasarkan pikiran yang negatif dan penuh curiga. Tidak paham dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Hanya berdasarkan asumsi pribadinya sendiri. Dan jika yang seperti ini dilontarkan, membuat orang tercengang. Seperti ini pulalah yang menuliskan berita asal-asalan dan sampah itu. Bukalah mata dan telinga, dan jelilah. Janganlah seperti seekor keledai.
Dokter Indonesia Bersatu menyerukan suara bangsa ini, jangan buru-buru berasumsi miring. Jujur saja sampai detik ini saya sebagai seorang dokter dan pengelola klinik hanya melayani pasien umum (tidak bpjs kesehatan), sebab tidak ingin melayani pasien dengan memberikan pelayanan substandar. Pelayanan substandar itu merugikan pasien, mengangkangi rasa kemanusiaan, membohongi hati nurani kami sebagai dokter. JKN memaksa memberikan pelayanan kesehatan yang serba terbatas. Pasien-pasien saya yang cerdas bahkan tidak memakai kartu bpjs mereka, memilih berobat ke tempat kami sebagai pasien umum. Pasien bpjs yang terlanjur berobat dengan kartu bpjs kesehatan sering sekali mengeluh dengan pelayanan yang mengecewakan sehingga mereka akhirnya berobat ke tempat lain sebagai pasien umum. Dan baru 2 hari lalu, saya menerima seorang ibu kontrol jahitan post sectio caesaria di rumah sakit dengan bpjs. Ibu ini mengeluh selama 6 hari, menahan sakit yang sangat dari luka operasinya. Obat dari bpjs hanya beberapa butir segera habis setelah pulang dari rumah sakit dan baginya memang tidak berefek untuk menghilangkan rasa sakitnya. Ia mengatakan " Saya kapok dok pakai bpjs, cukuplah kali ini saja. Pengalaman operasi yang sebelumnya sebagai pasien umum tidak menderita seperti ini...saya milih kontrol di sini saja. Trauma saya dok...". Ibu itu meringis dan luka operasinya basah bernanah.
Sistem harus segera diperbaiki, supaya manfaat JKN seperti yang diharapkan bisa tercapai. Jangan membuat tanda tanya bertambah-tambah dengan sistem yang carut marut, dokter dipaksa bekerja melayani dengan mengesampingkan hati nuraninya sementara kini terdengar dimana-mana bahwa pegawai bpjs saja memakai asuransi lain dan bukan bpjs. Sebenarnya bpjs ini untuk siapa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H