Lihat ke Halaman Asli

Ayah, Tapi Ia Bosku

Diperbarui: 6 November 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Memang ayahku, tapi ia bosku..dikerjaannya ia dihargai, disegani, dihormati oleh bawahannya. Semua pekerjaannya tuntas dan dilakukannya dengan baik. Aku cukup bangga pada ayahku itu, tapi...".

Satu kalimat tergantung cukup lama, kemudian berganti senyum getir dan helaan nafas panjang.

" Sayang, dimana-mana ayah menempatkan diri sebagai bos juga kepada kami anak-anaknya. Aku bahkan merasa kecil, bodoh dan tidak berguna. Kepercayaan diriku menjadi buruk dan aku merasa yah...tidak pernah sesuai keinginannya, semua yang ku kulakukan hampir selalu salah di matanya. Sedari kecil aku seperti tidak pernah dianggap, keinginanku tidak pernah didengarkan apalagi dituruti meskipun itu untuk diriku sendiri.

"Aku juga punya cita-cita dahulu, namun ayah memaksakan kemauannya dan kemudian terkubur begitu saja. Mungkin memang tidak pernah dilahirkan untuk menjadi diri sendiri. Ayah tidak pernah mempercayakan apa-apa pada anaknya, menyemangati apalagi memuji anak seperti yang ayah lain lakukan pada anaknya, meskipun itu hal amat baik sekalipun".

"Aku bukan tidak menghormati ayahku, bukan pula serta merta menjawabnya dengan nada tinggi namun itu kulakukan untuk menutupi rasa rendah diri, dipermalukan dan dibodoh-bodohkan oleh ayahku di depan bawahan di depan orang upahanku sendiri. Ayah seolah mengatakan kesemua orang betapa bodohnya, goblok dan tak bergunanya aku ini kepada semua orang. Sehingga didepanku, pekerja-pekerja itu tidak lagi mau menaruh telinganya. Mereka tertawa dan membicarakan aku yang seperti anak-anakkan, seperti anak kecil yang tak pernah dianggap berharga di depan ayahku sendiri. Bayangkan mau ditaruh dimana mukaku? Apakah dengan begini ayahku akan tampak hebat dan superior?, yah mungkin saja".

"Aku tahu dalam darahku mengalir juga darahnya, tapi aku punya keinginan, hati, pikiran, perasaan yang juga ingin dimengertinya. Aku bukan benda mati yang bisa dibengkokkan dan dibentuk sesuka hati dengan kasar. Aku selalu terluka dan terluka lagi...Hari ini kalau aku tak bisa seperti keinginannya maafkanlah, kalau aku tak jadi apa-apa itu bukan murni kebodohanku ataupun kesalahanku sepenuhnya".

"Ayah adalah bos di kerjaan, tapi seharusnya bukan bos untuk anak istrinya. Aku tidak butuh bos, yang kubutuhkan adalah seorang ayah, bos bisa ditemukan dimana-mana, tapi ayah...".

####

Curhatan itu, membuat hatiku trenyuh....banyak yang ingin kukatakan tapi sepertinya banyak kalimat tersekat ditenggorokan. Luka,...yah kulihat luka di sana. Aku juga pernah terluka, terluka oleh seorang ayah yang setiap hari mengutuk-ngutuki kami anak-anaknya. Tapi Tuhan Yesus yang setia membalut dengan kasihNya dan memulihkanku.

Ayah bukan sekedar panggilan belaka, bukan pula gelar kehormatan. Ketika seseorang memiliki anak dan ia menjadi ayah dari anaknya ada tanggung jawab yang dipikulnya. Bukan soal kebutuhan jasmani, menafkahi, menyekolahkan saja namun ada yang lebih dari itu. Seorang ayah ikut andil dalam pembentukan karakter anaknya, kecerdasan emosi, intelektual bahkan kepribadian anak.

Ayah dikatakan adalah tempat perlindungan, sumber pengajaran, sumber keteladanan yang lebih daripada 1000 orang guru. Tidak penting berapa orang guru yang mendidik anak secara akademik tapi Ayah benar-benar harus berperan sebagai ayah bukan bos. Bos akan dilupakan, ditinggalkan tapi Ayah akan ada selamanya dihati anak sepanjang masa, hubungan yang tak pernah bisa putus sampai kapanpun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline