Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun nampak amat kesakitan dan buru-buru dibaringkan di atas tempat tidur periksa. Sang ayah segera membuka suara, "bu tolong cek si Aldy, dia sakit perut dan muntah-muntah".
Anak itu segera saya periksa, nyeri perut kanan bawah dan perutnya amat keras, satu tanda gawat abdomen!. "Ini nampaknya usus buntu meradang dan sudah pecah pak, harus segera ke rumah sakit". Sang ayah nampak kurang yakin, kemudian berkata: "Anak ini bandel dok, suka keluyuran...apa bukan karena masuk angin aja nih?, coba dicek sekali lagi".
Saya periksa kembali. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan dengan amat cermat semua langkah pemeriksaan yang saya lakukan. Ia terhentak ketika melihat dan mendengar jeritan kesakitan anaknya ketika saya menekan daerah perut kanan bawah.
" Apakah anak-anak bisa juga menderita radang usus buntu bu?", tanya sang ayah dengan mimik cemas.
" Siapa saja bisa mengalaminya pak, bukan hanya orang dewasa ataupun orang tua saja" jawabku padanya.
Sang ayah meninggalkan ruangan periksa, meninggalkan anaknya yang sedang muntah bersama kami. Setengah jam kemudian ia telah datang kembali membawa rombongan, keluarga dan teman-temannya. Mereka meminta penjelasan atas rujukan yang saya berikan. Dengan berhati-hati saya menjelaskan detail dan menyimpulkan anak harus ke rumah sakit untuk mendapat tindakan operasi. Mereka berdiskusi panjang lebar, sementara saya duduk menunggu sambil mengawasi sang anak yang terbaring lemah.
Sang ayah kemudian mempraktekkan kepada keluarga dan teman-temannya seperti tindakan pemeriksaan yang saya lakukan. Ia menekan berkali-kali perut kanan bawah anaknya, memperlihatkan dan memperdengarkan jeritan anaknya. Saya buru-buru melarang, sungguh sang ayah tega sekali...pikirku dalam hati.
Mereka masih melanjutkan diskusinya di ruang tunggu, namun hal yang mencengangkan kemudian kudengar dari mulut sang ayah "gini ajalah bu dokter, kami minta obat aja...soalnya kalau sekarang ke rumah sakit kami gak bisa".
"Kenapa Pak?, tapi kondisi Aldy mesti segera di bawa ke rumah sakit kalau tidak bisa fatal". "Iya gimanalah bu, kami belum punya uang sekarang, terus ibunya masih banyak kerjaan menyiapkan pesanan katering buat acara wisudaan anak-anak sekolah TK besok".
Saya berusaha menjelaskan kembali dari A-Z, namun keluarga tetap memilih keputusan musyawarah mufakat mereka adalah solusi terbaik. Surat rujukan saya berikan, dan saya katakan apapun yang terjadi nantinya bukan menjadi tanggung jawab saya lagi. Mereka sepakat setuju, anak malang itu kemudian digotong pulang ke rumah.
Keesokan sorenya, saya mendapat informasi sang anak telah dibawa orangtuanya ke rumah sakit. Karena kondisinya semakin memburuk dan tukang urut yang malamnya mereka datangkan untuk mengurut anaknya juga tidak mampu menangani sakit perut Aldy. Saya hampir mati kesal mendengarnya, kenapa keluarga bertindak demikian, bukankah sudah saya katakan perutnya jangan ditekan-tekan ataupun diurut. ..