Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

Kehidupan Menurut Sains dan Agama

Diperbarui: 11 Maret 2022   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Dalam keseharian, terlihat betapa orang sangat mengagungkan Ilmu Pengetahuan. Cerita tentang orang tua yang mengorbankan seluruh miliknya demi pendidikan anak-anak, menjadi cerita heroik dan menyentuh. Rekrutmen pegawai dan peningkatan karir yang mensyaratkan ijazah pendidikan formal, sampai pada pencantuman gelar akademis pada surat undangan yang tidak ada kaitannya dengan dunia akademis, juga sudah lumrah.

Reputasi gelar akademis makin membumbung manakala Agama juga mengajarkan bahwa memiliki Ilmu itu kemuliaan. Siapapun yang menginginkan kesenangan dunia dan hari akhir, kuncinya adalah Ilmu. Selain itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Meskipun bila ditelaah lebih detail ayat yang menyatakan itu, kita akan menemukan bahwa dua yang utama sebelum Ilmu adalah Iman dan Amal Shaleh.

Pandangan yang tidak keliru. Karena memang begitulah seharusnya Ilmu dan orang ber Ilmu pengetahuan diperlakukan. Mereka mesti berada diatas. Karena dengan pengetahuannya mereka memberi cahaya bagi kita untuk memahami situasi.

Begitu juga lah riwayat kehidupan manusia. Bermula hidup yang dipenuhi dengan mitos, dilanjutkan dengan hidup yang memberdayakan akal, sampai dengan kehidupan yang dipenuhi dan dipandu Ilmu. Bila masa mitos kerap sinonim dengan kegelapan dan keterbelakangan, maka masa Ilmu pengetahuan adalah masa penuh terang dan kemajuan.

Bila kita melihat pada masa Yunani yang kerap dianggap rujukan sebagai awal munculnya Ilmu Pengetahuan, mungkin kita bisa merujuk kepada tiga tokoh legendaris, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.

Awalnya kehidupan di Yunani dipenuhi dengan mitos. Masyarakat berpandangan bahwa penguasa dan penentu kehidupan manusia adalah Dewa. Sebagaimana faktor penentu kehidupan manusia itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat pengaruhnya, maka Dewa pun bermacam-macam dan masing-masing mempunyai tingkatannya tersendiri. Makin tinggi pengaruhnya, makin tinggilah level Dewa tersebut.

Socrates kemudian datang mengingatkan.

Namun Socrates tidak datang dengan membawa berbagai tulisan untuk dibaca atau berceramah untuk didengar. Socrates justru datang tanpa membawa tulisan dan sedikit berbicara. Dia hanya mengajak masyarakat berdialog dengan mengajukan berbagai macam pertanyaan. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan Socrates itulah yang menggugah dan membangun daya pikir masyarakat.

Para Psikolog dan Pendidik mengadopsi cara Socrates bertanya dalam istilah "Socratic Question". Sebuah cara merumuskan pertanyaan yang benar dan tepat untuk bisa menstimulasi tumbuhnya daya kritis peserta didik. Sementara para ilmuwan menyebut Socrates sebagai seorang bidan. Sebagaimana bidan yang tidak melahirkan tapi hanya membantu kelahiran, begitu juga Socrates. Dia tidak melahirkan sebuah pemikiran tapi mengajak orang untuk melahirkan pemikiran.

Melalui Socrates, kehidupan yang dipenuhi mitos perlahan bergeser ke kehidupan kritis. Kehidupan ketika manusia memberdayakan pikirannya untuk memahami situasi. Pola memahami kehidupan inilah lebih diperdalam oleh Plato dan Aristoteles.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline