Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

Pandangan Sekilas atas Drama Korea

Diperbarui: 3 Mei 2021   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Pandangan Sekilas Atas Drama Korea

Awalnya adalah pandangan kelompok positivistik-objektif dalam melihat sebuah teks atau bahasa. Bagi kelompok ini, bahasa adalah perkara gramatika. Berbahasa yang baik dan benar adalah berbahasa yang sesuai dengan tata bahasa yang berlaku. Sebaliknya, berbahasa yang buruk adalah berbahasa yang mengabaikan tata bahasa dan ini akan menimbulkan problem tersendiri. Dalam riwayat bahasa Arab misalnya. Kebutuhan membenahi Ilmu Nahwu Sharaf (Ilmu Tata Bahasa Arab) diantaranya karena adanya tragedi pembunuhan disebabkan kekeliruan memahami gramatika bahasa Arab.

Pada masanya, orang Arab pernah tidak memakai titik, baik itu letak titik maupun jumlahnya, sebagai pembeda antara satu huruf dengan huruf lainnya. Karenanya tidak ada pembeda antara huruf "Ba" dan "Tha" atau "Jim" dan "Kha" karena titik yang menjadi pembeda tidak dituliskan. Dalam kata yang titik nya tidak dituliskan, maka kata "Uqtul" yang berarti bunuhlah, dengan kata "Iqbal" yang berarti terimalah, susunan huruf nya sama. Kesalah fahaman muncul ketika Khalifah mengutus seorang kurir dan dalam suratnya menyuruh bawahannya untuk menerimanya dengan memakai kata "Iqbal" atau terimalah. Sayangnya ada kekeliruan membaca perintah Khalifah. Kata "Iqbal" dibaca menjadi "Uqtul". Jadinya kurir tersebut pun dibunuh bukan diterima dengan baik.

Meski gramatika adalah hal penting, namun ada kritik penting terhadap pandangan diatas. Perhatian berlebih terhadap gramatika atau struktur, menjadikan bahasa atau teks tidak dilihat memiliki khazanah subjektivitas atau kandungan sosial budaya yang kaya. Menurut pandangan subjektif-hermeneutis, bahasa tidak sekering itu. Bahasa bukan hanya perkara gramatika tapi juga perkara sosial dan budaya yang kaya dan subjektivitas yang sangat kental.

Ketika bahasa Inggris memperkenalkan 16 Tenses dalam grammarnya, ini bukan hanya tentang perlunya memakai gramatika waktu dalam berbahasa. Tetapi juga menyiratkan cara pandang terhadap waktu yang menekankan akurasi. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang gambarannya tentang waktu cenderung global. Ketika orang Indonesia membedakan dengan sangat detail antara padi, gabah, beras, nasi atau bubur sementara orang Inggris menamai semuanya dengan kata "Rice", ini menyiratkan kaya, detail dan pentingnya nasi bagi orang Indonesia dibanding orang Inggris. Ketika orang Islam Indonesia membaca dalam Quran ada surat bernama Al-Baqarah yang berarti Sapi, sedikit yang mengingat bahwa Al-Baqar adalah penamaan bagi Sapi berumur 2-3 tahun. Bukan seluruh Sapi yang diternak manusia.

Pandangan berikutnya terhadap teks atau bahasa yang juga sangat penting adalah pandangan kelompok Marxist-Kritis. Dalam pandangan ini, teks atau bahasa bukan hanya masalah objektivitas dan subjektivitas, tetapi masalah kuasa. Teks atau bahasa adalah medium yang sangat tepat untuk menyebarkan sebuah pandangan tertentu yang tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam bahasa, terkandung operasionalisasi kekuasaan. Karena melalui teks dan bahasa lah hegemoni sebuah kekuasaan bisa dijalankan.

Bila dulu pemerintah menciptakan label PKI dan ekstrem kanan kepada kelompok-kelompok  yang kerap bersebrangan, maka pada saat ini teroris atau intoleran adalah label baru. Penghilangan nama tokoh-tokoh seperti Hasyim Asy'ari dan memunculkan banyak nama-nama tokoh PKI dalam sebuah kamus sejarah, menurut pandangan Marxist-Kritis tidak bisa dianggap sebagai peristiwa penulisan sejarah biasa. Dalam peristiwa tersebut terkandung agenda politik yang pada dasarnya tidak sesederhana yang dikira.

Tentunya diperlukan pengetahuan Bahasa dan teknis sinematografi yang mumpuni untuk melihat Drama Korea sebagai sesuatu yang objektif-positif. Namun bila kita melihat Drama Korea secara subjektif-hermeneutis, kita bisa melihat beberapa cara pandang dan budaya Korea melalui Drama Korea. Seperti kesamaan Komunikasi orang Korea dengan orang Indonesia yang berpola High Context Culture yang berbeda dengan kecenderungan pola Komunikasi Barat yang berpola Low Context Cultre. Atau kesamaan sistem kekerabatan antara orang Korea dan orang Indonesia yang berpola Extended Family.

Namun hal menarik adalah ketika melihat Drama Korea dalam perspektif kritis. Terlebih bila dibandingkan dengan film Amerika produksi Holywood. Terlihat ada perbedaan diametral antara Drama Korea dengan film Hollywood.

Untuk melihat film Hollywood dalam perspektif marxist, adalah hal yang menarik bila kita membaca artikel David Robb pada majalah Brill's Content berjudul "Hollywood Wars" pada tahun 2001. Robb sendiri adalah seorang freelance jurnalist di Hollywood yang setelah menulis "Hollywood Wars" tiga tahun kemudian (2004) menulis buku berjudul "Operation Hollywood: How the Pentagon Shapes and Censors the Movies"

Para pembuat film di Hollywood, selalu ingin membuat film sebaik dan seefisien mungkin. Termasuk diantaranya ketika membuat film perang. Untuk membuat film perang yang baik, dibutuhkan peralatan perang seperti pesawat tempur, kapal selam, tank, kapal tempur yang asli bukan imitasi. Namun butuh biaya yang sangat besar untuk bisa memakai peralatan tersebut. Sebagai gambaran, untuk menyewa pesawaf F-15 buatan Israel, pada masa itu dibutuhkan uang mencapai 10.000 dollar AS untuk satu jam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline