Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

Etika Keadilan Konfusius

Diperbarui: 7 November 2020   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintar Pandai (benbalden.com)

Manusia adalah makhluk yang dalam dirinya terkandung sifat malaikat dan setan sekaligus. Bila sifat malaikat adalah cahaya yang membawa nya kepada dunia terang yang dihiasi perilaku baik, sebaliknya dengan sifat setan. Setan adalah sifat yang membawa manusia pada kegelapan yang mewujud dalam perilaku buruk dan jahat.

Sifat baik dan jahat itulah yang sepanjang waktu bertempur pada diri manusia. Sifat yang memenangkan pertempuran, itulah yang menjadi wajah seseorang. Kalau sifat setan yang menang, maka orang tersebut akan selalu berbuat jahat. Sebaliknya bila sifat malaikat nya yang menang, maka dia akan selalu terbimbing melakukan kebaikan.

Namun meski manusia memiliki sifat-sifat jahat pada dirinya, dasar manusia itu adalah orang baik. Manusia adalah makhluk yang senantiasa berhasrat melakukan kebaikan. Kodrat manusia adalah menuju cahaya yang senantiasa ingin melakukan kebaikan bagi sesamanya. Bila ada manusia yang melakukan kejahatan, itu bukan karena dia jahat tapi karena kebaikan sedang tenggelam dalam dirinya. Kegelapan itu bukan dimana manusia tidak bisa melihat apa-apa, tapi kegelapan adalah ketika cahaya redup pada diri manusia. Karenanya cara keluar dari kegelapan adalah dengan menghadirkan cahaya.

Mungkin karena berdasar pandangan ini, banyak orang yang melihat bahwa setiap kejahatan yang dilakukan manusia adalah membalas nya dengan kebaikan. Karena manusia itu pada dasarnya adalah baik. Setiap kebaikan yang dilakukan, mesti dibalas dengan kebaikan untuk memunculkan kembali kebaikan yang ada pada dirinya.

Pandangan seperti ini kerap dikemukakan banyak orang dengan merujuk kepada ajaran berbagai agama. Karena Nabi yang menjadi utusan Tuhan, turun ke muka Bumi untuk mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada manusia. Bukan mengajarkan kejahatan.

Sikap terakhir ini bagi Konfusius, seorang guru dari Tiongkok,  menimbulkan problem etik tersendiri. Pertanyaan paling dasar dari Konfusius, bila kejahatan dibalas dengan kebaikan, lalu apa balasan bagi kebaikan?

Bagi Konfusius, kebaikan memang harus dibalas dengan kebaikan tapi kejahatan bukan dibalas dengan kebaikan. Kejahatan mesti dibalas dengan keadilan. Karena kalau kejahatan dibalas kebaikan, kita tidak hanya sedang membiarkan orang untuk terus berbuat jahat dan itu membuatnya terus berada dalam kegelapan, tapi kita juga sedang merancang terbentuknya tatanan sosial yang merusak karena orang jahat kita beri reward.

Dalam hikayat Nabi Muhammad disebutkan bahwa Nabi yang membalas cacian seorang Yahudi buta dengan tetap memberinya makan dan menyuapinya. Namun di sisi lain, Nabi juga memutuskan untuk mengusir orang-orang Yahudi satu kampung karena mereka berbuat kejahatan berupa pengkhianatan dan melanggar kesepakatan untuk memerangi musuh dari luar. Pengusiran itu harus dilakukan karena bila tidak, akan merusak tatanan sosial. Orang sudah berbuat jahat, tapi tetap dibiarkan.

Bila dikaitkan dengan keadilan dan cinta kasih, mungkin hikayat paling populer nya ada dalam peristiwa Ali Bin Abi Thalib ketika menghadapi salah satu musuhnya. Disebutkan bahwa dalam sebuah peperangan, Ali berhasil menundukkan salah seorang yang senantiasa memprovokasi kejahatan dan peperangan dan akan membunuhnya. Namun tiba-tiba Ali urung menusukan pedang nya ke orang tersebut. Ketika ditanya kenapa tidak jadi membunuh, Ali menjelaskan bahwa tiba-tiba dia merasakan kemarahan dalam dirinya ketika melihat orang itu. Ali tidak jadi membunuhnya karena tidak ingin membunuh karena motif amarah bukan membunuh karena membangun keadilan.

Saat ini, aspek keadilan inilah yang kerap luput dari kehidupan kita. Ketika ada orang yang jelas-jelas menghina, orang menyerukan pemaafan. Padahal orang nya pun tidak pernah meminta maaf. Argumen yang dipakai tidak lain dari dalil-dalil agama itu sendiri. Kejahatan dibalas dengan kebaikan yang akan merusak tatanan sosial.

Sementara di sisi lain ketika ada orang yang menuntut balas, ekspresi yang muncul justru bukan menuntut keadilan, tapi mencurahkan kemarahan. Jadinya kejahatan pun dibalas dengan kejahatan kejahatan dan hidup makin gelap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline