Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

Politik yang Membutakan dan Sastra yang Membuka Mata

Diperbarui: 18 Mei 2020   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: KOMPAS

Kaya atau Miskin itu objektif. Bisa diukur. Bisa dilihat dari aset, properti atau jumlah simpanan di tabungan. Sementara bahagia dan sengsara itu subjektif. Bergantung cara pandang. 

Orang bisa punya uang banyak. Tapi karena tidak puas, maka dia merasakan hidupnya kekurangan, tidak menyenangkan apalagi membahagiakan. Sebaliknya. Ada orang yang  uang nya sedikit. Tapi karena melihatnya dengan cara berbeda, maka dia merasa hidupnya serba berkecukupan, menyenangkan dan membahagiakan.

Objek negatif tidak selalu akan dimaknai orang menjadi yang negatif dan fakta positif tidak selalu bermakna negatif. Begitu juga sebaliknya. Fakta positif bisa jadi berimbas negatif dan fakta negatif bisa berimbas positif. 

Karenanya dalam kehidupan lumrah ditemui. Ada orang berlimpah kekayaan tapi merasa hidupnya merasa serba kekurangan. Sebaliknya, ada yang kepemilikannya sedikit tapi merasa hidupnya menyenangkan.

Pemisahan antara objektif dan subjektif ini, sudah lama menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat kita. Namun di kala pandemi seperti sekarang, sepertinya hal diatas sudah tidak menjadi pegangan. 

Pengambil kebijakan dan masyarakat seolah menghindar untuk membicarakan sesuatu yang faktual atau objektif. Utamanya yang menyakitkan dan tidak mengenakan. 

Seolah membicarakan fakta objektif yang menyakitkan, akan berimbas pada cara pandang dan cara sikap yang negatif juga. Padahal tidak seperti itu. Fakta negatif bisa disikapi secara secara positif sebagaimana fakta positif bisa diartikan secara negatif.

Di awal pandemi, kita masih ingat sikap pengambil kebijakan menghadapi wabah ini. Mengeluarkan segala daya upaya untuk menyangkal bahwa SARS-COV-2 sudah masuk ke Indonesia. Meski sudah diperingatkan dunia internasioal. 

Begitu juga di tengah pandemi. Utamanya dalam pengelolaan data. Antara data yang dikeluarkan pemerintah, bukan hanya jauh lebih kecil dengan prediksi para matematikawan dan epidemiologis, tetapi kerap berbeda dengan input data dari Provinsi.

Jawaban sikap diatas sudah dijelaskan pemerintah. Menurut Presiden, pemerintah bermaksud mengajak masyarakat tenang, tidak panik menghadapi pandemik. 

Sebuah pandangan yang menyiratkan kekhawatiran Presiden bahwa fakta objektif yang negatif, akan berimbas pada sikap yang negatif juga. Isyu virus corona masuk Indonesia atau tingginya angka penderita Covid-19 di Indonesia, dikhawatirkan akan membawa situasi sosial yang destruktif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline