Beberapa kali di timeline muncul pembicaraan tentang Yuval Noah Harari. Mungkin karena tuntutan pekerjaan atau sedang memikirkan hal lain, jadinya belum ada hasrat mencari tahu siapa Hariri. Sejarawan yang pemikirannya sedang digandrungi itu. Sehingga World Economic Forum dan Marc Zuckerberg mesti mengundangnya berbicara dan orang seperti Obama dan Bill Gates merasa perlu merekomendasikan orang untuk membaca bukunya.
Virus corona lah yang membuat saya menyempatkan diri mencari informasi tentang Harari. Bukan hanya karena tertarik membaca tulisan Harari di time yang membicarakan pandemic Covid-19 dalam perspektif sejarawan, tetapi karena corona juga yang membuat saya mesti lock down di rumah dan berkesempatan mencari informasi.
Mungkin diantara pidato Harari yang menarik bagi saya adalah ketika dia membicarakan Algorithm dan Bio-Algorithm (Sepertinya sedang membicarakan bukunya yang ke-2; Homo Deus). Sebagaimana pandangan keumuman, Harari juga mempunyai pandanga bahwa masa depan kehidupan manusia ada pada Big Data, Artificial Intellegence dan Algorithm. Hal-hal yang disebutkan tadi, pada saat ini dan masa yang akan datang akan menjadi faktor determinan pembentuk kehidupan manusia.
Harari mencontohkan tentang seorang artis Amerika yang menurut diagnosa dokter dikatakan sehat. Namun ternyata berdasar Big Data, ritme kehidupannya menunjukan bahwa dia adalah penderita kanker. Karenanya artis tersebut disarankan untuk segara melakukan berbagai treatmen mencegah kanker sebelum penyakitknya berkembang ke stadium lanjut. Ujung cerita dari artis tersebut ternyata menyebutkan bahwa si Artis mempercayai Big Data dan dia memang sedang menderita kanker. Big Data dengan setting Algorithmanya telah menyelamatkan artis tersebut dari ancaman kanker yang mematikan.
Namun menurut Harari, pada dasarnya tanpa Big Data dan Algorithma yang dikelola komputer, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang pada tubuhnya sudah memiliki algorithma tersendiri. Sebagai makhluk biologis, badan manusia secara reflek sering memberikan respon-respon pada setiap stimulus yang datang dari luar dirinya. Seperti ketika dia silau oleh sinar matahari, maka tangannya akan dengan secara refleks melindungi matanya.
Tubuh-tubuh manusia selalu aktif memberi sinyal kapan dia mesti makan, mesti minum, mesti buang air besar atau penyakit apa yang sedang dideritanya. Bio-Algorithma, begitu Harari menyebutya. Karenanya apa yang disebut dengan algorithm yang menjadi pegangan masyarakat digital sekarang, pada dasarnya adalah pengulangan dari Bio-Algorithm yang dulu pernah menjadi pegangan kehidupa manusia.
Mungkin dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menganalogikan penjelasan Harari ini dari cara kita mengendarai mobil. Ketika mobil belum dilengkapi teknologi seperti persneling otomatis, rear camera, dan hill start assist, maka respon biologis adalah senjata utama mengendarai mobil.
Ketika parkir mobil, manusia butuh kepekaan untuk mengukur apakah bemper belakang mobilnya sudah menyentuh pembatas atau belum. Seorang supir butuh kepekaan biologis untuk tahu kapan harus menginjak pedal gas dan menarik pedal kopling ketika menanjak.
Sekarang peran-peran itu sudah diambil alih oleh rear parking camera dan hill start assist sehingga kepekaan biologis manusia berkurang digantikan teknologi. Pada masa yang akan datang, ketika teknologi self driver mobil menjadi pegangan, maka otomatis semua Bio-Algorithm itu akan diganti oleh Algorithm.
Ketika Harari yang dikenal sebagai sejarawan itu memperkenakan istilah Algorithm dan Bio Algorithm itu, saya jadi ingat pandangan Emha Ainun Nadjib tentang sejarah. Menurut Cak Nun, kekeliruan manusia adalah memandang bahwa sejarah itu berjalan linear. Padahal sejarah itu pada dasarnya berjalan secara siklikal, berputar.
Sejarah hidup manusia itu bukan seperti yang digambarkan oleh para industrialist yang bergerak linear dari Industri 1.0 ke Industri 4.0, atau seperti para teknokrat Jepang yang mengatakan bahwa sejarah manusia itu bergerak dari Society 1.0 ke Society 5.0. Sejarah itu siklikal, berputar. Apa yang terjadi pada saat sekarang, kerap pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu. Hanya saja dalam format yang berbeda.