Keuangan negara jelas sedang tertekan. Kita tidak perlu menguliti angka-angka nya sampai detail. Ketika Bu Menkeu terlihat agresif ingin menerapkan Pajak ini itu, kita sadar bahwa Bu Menkeu sedang mencari tambahan sumber keuangan baru buat negara.
Secara sederhana, tekanan terhadap keuangan negara pasti karena tidak seimbangnya pengeluaran dan pemasukan. Pengeluaran uang negara yang tinggi, tidak diimbangi pemasukan ke kas negara.
Di antara komponen pengeluaran uang negara yang selalu membuat kita sesak nafas, adalah bayar utang beserta bunganya. Pembayaran utang negara hampir mengambil seperempat total angggaran negara. Karena tren utang negara makin naik, otomatis porsi bayar hutang beserta bunganya juga makin naik.
Kenaikan anggaran untuk bayar utang ini mungkin sudah terprediksi oleh Bu Menkeu, tapi berkaitan dengan hutang. Akhir-akhir ini ada perkembangan terbaru yang tidak kita duga sebelumnya. Amerika menaikan derajat Indonesia dari status negara berkembang menjadi negara maju.
Prestisius secara sosial politik, tapi merugikan secara ekonomi. Berbagai macam privilege, seperti ringannya bunga hutang bagi negara berkembang, pasti tidak bisa diperoleh lagi.
Sementara itu, pendapatan negara pun tidak bersahabat dengan kondisi keuangan negara. Migas yang selama ini menjadi andalan pemasukan, sudah tidak bisa menjadi sandaran lagi. Trend pemasukan negara dari Migas dari tahun ke tahun, terus menurun. Realisasi lifting minyak, selalu dibawah target.
Namun pada saat yang bersamaan, pemasukan negara dalam bidang Pariwisata, trennya dari tahun ke tahun cenderung menaik. Padahal kita tahu, bahwa Pariwisata kita belum dikelola dengan baik. Publikasi Pariwisata Indonesia, kalah dengan Malaysia atau Thailand. Padahal Indonesia juga banyak memiliki destinasi wisata yang jauh lebih menarik dibanding kedua negara tetangganya itu.
Ketika pemasukan negara dalam bidang Pariwisata terus menerus naik, sementara masih banyak destinasi wisata yang belum dikelola dengan baik, maka tidak aneh bila pemerintah kemudian memacu industri Pariwisata kita. Terlebih, selama lima tahun terakhir, pemerintah gencar menggenjot pembangunan Infrastruktur transportasi yang akan menunjang industri Pariwisata.
Dalam konteks inilah kemudian kita bisa memahami posisi rumitnya pemerintah Indonesia menghadapi wabah virus Corona. Ketika pemerintah menggenjot dunia Pariwisata sebagai andalan baru pendapatan negara, virus Corona datang menggerusnya. Karena bagaimana pun, "korban pertama" kedatangan wabah penyakit, adalah industri Pariwisata.
Hal lain ini yang mungkin menjelaskan kenapa pemerintah mengeluarkan kebijakan paradoks berkaitan dengan virus Corona ini. Ketika negara lain membatasi interaksi antar warga negara dan dan antar warga dunia sebagai upaya preventif penyebaran wabah penyakit, Indonesia justru membuka interaksi lebar-lebar dengan warga dunia.
Wisatawan diundang datang, meskipun dari negara yang terinfeksi SARS CoV-2. Tiket pesawat disubsidi hingga ada pemotongan sampai 50%. Influencer pun digelontori dana miliaran rupiah untuk mempublikasikan Pariwisata Indonesia.