Membaca judulnya, semula saya pikir ini film tentang justice collaborator. Seorang yang membocorkan kejahatan kepada penegak hukum. Tetapi ternyata bukan.
Whistle blower diangkat dari "kisah nyata" upaya Jurnalis TV di Korea Selatan yang mengasuh acara khusus investigatif yang berhasil mengungkap kebohongan seorang public figure. (Kalimat kisah nyata mesti kita berikan tanda petik. Penjelasannya bagaimana, akan kita bahas di akhir).
Adalah Prof. Lee, pakar kedokteran hewan, yang bersama-sama kolega-koleganya para dokter yang mengumumkan bahwa mereka berhasil mempertemukan sel telur dengan sel induk buatan.
Temuan ini tidak hanya dianggap revolusioner, tetapi juga memberikan harapan kepada dunia medis dan juga pada banyak pasien yang sangat membutuhkan. Prof. Lee dan timnya pun tidak hanya dikenal oleh masyarakat Korea Selatan tetapi juga menjadi ikon dan harapan baru bangsa Korea. Padahal secara medis tidak mungkin orang bisa membuat sel induk.
Tetapi kebohongan Lee terbongkar. Ketua tim riset merasa tidak nyaman dengan kebohongan Lee, lalu keluar dari tim dan membocorkan kebohongan ini kepada media. Sayangnya sang whistle blower tidak bisa memberikan bukti kebohongan Prof Lee.
Tetapi karena media merasa yakin kebenaran narasumbernya, jurnalisnya pun melakukan investigasi. Di antara hal yang meyakinkan media adalah komposisi tim penelitinya itu sendiri. Ternyata dalam tim peneliti lebih banyak diisi crew public relation, ketimbang para pakar.
Upaya jurnalis Korea Selatan melakukan investigasi, ketakutan para narsumber, serangan balik Prof. Lee dan timnya, tuntutan editorial, tekanan pemilik media juga upaya untuk bisa menyiarkan naskah yang sudah jadi, itulah yang dideskripsikan dengan baik dalam film Whistle blower.
Ketika menonton film ini, secara otomatis kita akan ingat film serupa dari Amerika: All The President Men. Tentang liputan investigatif Washington Post mengungkap konspirasi Gedung Putih masa Richard Nixon yang melakukan tindakan spionase ke kantor Partai Demokrat dalam rangka memuluskan Nixon menjadi Presiden Amerika kedua kalinya. Investigasi Post, yang kemudian dikenal dengan skandal Watergate ini, tidak hanya berhasil menyeret banyak pejabat Gedung Putih, tetapi juga membuat Nixon mengundurkan diri.
Dengan asumsi apa yang digambarkan kedua film di atas itu tidak jauh berbeda dengan kenyataan, maka dari film ini juga tergambar perbedaan media di Amerika dan di Korea Selatan.
All The President Men menggambarkan upaya keras Woodward dan Bernstein, duo jurnalis Post yang meliput Watergate, yang harus memenuhi standar penulisan yang diterapkan Post. Film ini juga menggambarkan bagaimana upaya Gedung Putih untuk menyangkal dan mengawasi gerak-gerik reporter Post sampai harus menyadap teleponnya.
Berbeda dengan All The President Men, film Whistle Blower tidak hanya mengungkapkan tuntutan standar pemberitaan yang diterapkan TV Korea Selatan, serangan balik dari Prof Lee tetapi juga tekanan pemilik media yang takut ditinggal para pengiklan serta tekanan publik yang sudah begitu fanatik terhadap Lee.