Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

Kyai Ma'ruf Berbohong?

Diperbarui: 5 Februari 2017   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kyai Maruf Berbohong?

Menurut Ahok dan pengacaranya, pada persidangan Ketua MUI ditanya berkali-kali tentang telepon dari SBY ke beliau. Jawabnya adalah tidak. Menurut Ahok itu bohong. Karena dia punya bukti adanya telepon itu. Hari berikutnya, dalam konfrensi pers SBY menceritakan adanya hubungan telepon antara dirinya dan Kyai Maruf pada hari yang dimaksud Ahok. Setelah itu sebagaimana diketahui, propaganda baru muncul. Setelah Ahok menyatakan minta maaf, media timses Ahok mengatakan bahwa Kyai Makmun berbohong.

Lalu apakah Pak Kyai berbohong?

Setidaknya ada ada dua hal tentang Pak Kyai yang selama ini tidak disinggung, yaitu keahliannya dalam Fikih dan mantan anggota DPR 1999-2004, pemilu pertama pasca reformasi yang dikenal clean dan fair. Dua status yang menunjukan adanya kepakaran dan pengalaman dan jarang dimiliki orang.

Sebagai mantan anggota parlemen, Pak Kyai pastinya tahu dunia politik kita serta perilaku para politisinya. Bagi Kyai Maruf, dia tidak membutuhkan waktu bermenit-menit untuk mengerti maksud Ahok dan pengacaranya serta tahu cara menghadapinya.

Pada sisi lain, sebagai orang yang menguasai Fikih, maka dalam banyak hal pengetahuannya ini sangat mempengaruhi caranya mengambil keputusan. Baik Fikih sebagai sebuah cara mengambil keputusan hukum, maupun Fikih sebagai sebuah keputusan hukum.

Fikih sendiri adalah keilmuan keislaman yang selama ini disalahfahami. Publik menganggap bahwa Fikih adalah ilmu hitam putih membahas halal haram, boleh dan tidak boleh. Padahal Fikih adalah ilmu tentang segala kemungkinan. Fikih adalah kajian akan hukum Islam yang menunjukan keberwarnaan Islam.

Fikih itu tidak hanya membahas apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi membahas apa yang dibolehkan, yang tidak dibolehkan, yang dianjurkan dikerjakan, yang dianjurkan ditinggalkan atau dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa. Jadi Fikih bukan perkara halal haram, tapi Fikih itu perkara Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, Mubah. Hukum dalam Fikih tidak mutlak-mutlakan tetapi membuka berbagai kemungkinan berbantung situasi yang melingkupinya.

Kita contohkan tayamum. Hukum Islam mengatakan bahwa tayamum adalah pengganti wudhu jika tidak ada air. Karenanya syarat sah tayamum adalah tidak adanya air. Pertanyaan baru muncul. Bolehkah tayamum sementara di depan kita ada air tetapi itu air minum yang sangat dibutuhkan?Syahkah tayamum bila setelah tayamum, tiba-tiba kita menemukan air?

Kita bisa mengambil contoh lain yang tidak jauh berbeda. Misalnya saja tentang berbohong. Agama menyatakan bahwa berbohong itu tidak boleh. Tetapi bagaimana kalau berbohong untuk mendamaikan orang yang bertikai?Bagaimana juga berbohong untuk menyenangkan istri?

Fikih Islam membicarakan hal tersebut dengan detail. Bukan hanya mengharamkan dan menghalalkan, tetapi juga melihat kondisi yang melingkupinya. Karenanya, seorang Faqih bukan orang yang hanya bisa hafal runtutan ayat dan hadits tentang hukum sesuatu, tetapi dia orang yang mempunyai dinamis dan aware kondisi sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline