Lihat ke Halaman Asli

Delianur

TERVERIFIKASI

a Journey

LGBT: Sikap, Legalisasi Pernikahan, dan Komunikasi

Diperbarui: 22 November 2020   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya saya klarifikasi dahulu. Ini tulisan iseng bukan serius apalagi ilmiah. Jadi jangan tanya jurnal ilmiah mana, buku handbook siapa, data darimana serta laporan penelitian lembaga apa yang mendasarinya. 

Karena kalau nanya sumber tulisan ini, ya hanya status facebook atau debat-debat semrawut di TV. Paling banter ditambah artikel lah. Jadi tolong jangan bilang buku saya apa dan ukuran otak saya berapa. Karena saya yakin yang nanya pasti lebih banyak baca buku dan ukuran kepalanya lebih luas. Ini hanya otak atik. Sambung menyambungkan kali aja tersambung. 

Itu dulu supaya tidak salah faham dan anda menghabiskan energi besar untuk mengeluarkan kata-kata tidak enak di dengar. Selanjutnya saya coba berbicara tentang LGBT sebatas yang saya fahami.

Setidaknya ada dua hal yang muncul di kepala saya ketika membaca lalu lintas pembicaraan publik tentang LGBT. Hal pertama berkaitan dengan sikap terhadap kalangan minoritas dan berbeda seperti komunitas LGBT. Hal kedua adalah bagaimana sains melihat fenomena LGBT. Apakah LGBT itu sebuah penyimpangan yang bisa diluruskan, atau dia merupakan bawaan lahir yang tidak bisa dirubah?Nurture atau nature kah LGBT itu?

Dua tema ini menurut saya mesti dipilah. Kesemrawutan pemilahan atas kedua hal ini yang menjadikan perbincangan tentang LGBT menjadi serba semrawut. Orang mengingatkan tentang hak-hak pengidap LGBT disebut mengamini orientasi seksual LGBT. Pada sisi lain yang mempertanyakan orientasi seksual LGBT, disebut anti LGBT dan tidak toleran terhadap minoritas. Begitu seterusnya. Sehingga yang terjadi itu bukan saling belajar dan memahami, tapi saling memaki. 

Anehnya, dalam kondisi saling memaki dan mencela, orang terus saja teriak untuk minta difahami dan dimengerti. Sesuatu yang menurut saya sangat ganjil. 

Kalau membicarakan penghormatan dan sikap, maka pada dasarnya siapapun harus diperlakukan sama. Terserah dia agamanya apa, pilihan partai politiknya no berapa, asalnya darimana, jenis kelaminnya apa dan lain sebagainya. Apakah kita memposisikan diri sebagai warga negara maupun memposisikan diri sebagai manusia, menghormati orang lain itu adalah sebuah perintah. 

Undang-Undang, yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara, mengatakan bahwa salah satu tugas negara itu ya melindungi semua warga negara. Sementara agama sebagai pedoman hidup manusia, juga mengajarkan supaya kita adil karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan kita tidak boleh tidak bersikap adil hanya karena kita mempunyai rasa tidak suka terhadap orang tersebut. 

Jangankan LGBT yang masih manusia, semut yang hewan saja kata Nabi mesti dihormati. Karena ketika Nabi digigit semut, sahabat menawarkan untuk membakar semua sarang semut. Tapi Nabi mengingatkan: "Apa kamu mau membunuh makhluk yang juga bertasbih sama Allah?" 

Jadi binatang yang levelnya di bawah manusia saja mesti dihargai, apalagi manusia yang sudah diciptakan Tuhan fi ahsani taqwim, dalam sebaik-baik bentuk. Jadi tidak pas untuk menyamakan LGBT dengan anjing. Selain anjing juga ada yang homo, manusia memang tidak selevel dengan anjing. 

Lagipula ingat lho!.. kalau kita konsisten berbicara agama, maka ketika kita bertemu dengan orang yang kondisinya, minimal dalam perspektif kita memprihatinkan, maka agama mengajarkan orang untuk mengucapkan kalimat Naudzubillahi min dzalik terlebih dahulu. Kalimat yang berarti Ya Tuhan, saya meminta perlindungan-Mu untuk untuk tidak menjadi seperti itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline