Dulu ada guru besar pemikiran Islam namanya Prof Dr Harun Nasution. Kalau tidak salah beliau adalah guru besar filsafat Islam. Pernah menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, sekarang UIN, dan meninggal pada tahun 1998. Allahumagfirlahu...
Banyak orang yang mewanti-wanti saya untuk tidak mendengar omongannya atau membaca buku-bukunya. Dia memperkenalkan pemikiran mu'tazilah. Salah satu golongan dalam Islam yang dikenal mengedepankan akal dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Karenanya alm disebut mendewakan rasio, sesat dan menyesatkan.
Sampai akhirnya saya penasaran dan membaca buku-bukunya. Hemat saya setelah membaca bukunya, alm tidak sesat apalagi hendak menyesatkan. Alm juga bukan mendewakan rasio. Beliau hanya mengajak orang Islam untuk mengoptimalkan rasio dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Karena sesuatu yang sekilas tidak bisa kita fahami, bisa ditemukan maknanya kalau akal kita dioptimalkan lebih dalam lagi memahaminya. Kebenaran ayat Tuhan bisa ditemukan kalau kita menggunakan rasio kita secara optimal.
Contohnya begini. Kita tahu bahwa Al-Quran berulangkali mendefinisikan surga itu sebagai jannah tajrii min tahtihal anhar, taman dimana dibawahnya mengalir sungai yang jernih. Bila kita membaca deskripsi surga seperti ini, logis tidak?Adil tidak?Masak sih kita disuruh puasa Ramadhan, shalat malam, shalat lima kali sehari dan rangkaian perintah lainnya yang berat lalu ganjarannya di akhirat nanti hanya di tempatkan di taman?Kalau hanya sekedar tinggal di taman di dunia juga banyak taman. Bahkan dengan teknologi terkini, tamannya bisa direkayasa sedemikian rupa. Kalau taman di surga air mengalir dibawah, di dunia ini ada taman dengan air yang mengalir diatas, bawah, samping kiri dan kanan kita seperti di taman laut. Lebih keren kan.
Tetapi ternyata ketika akal manusia terus dioptimalkan untuk memahami ayat ini, ditemukan jawaban menarik dan luar biasa kenapa surga di deskripsikan seperti itu. Ketika para pemikir mau menelaah lebih dalam dengan melibatkan ilmu sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ekonomi kondisi Arab ketika itu, maka ditemukan jawabannya.
Kita tahu bahwa Quran itu turun di tanah Arab. Negeri yang tandus, panas dan sejauh mata memandang hanya padang. Air adalah sesuatu yang sulit sehingga harus dihemat. Air itu digunakan untuk minum, masak dan mandi. Bukan untuk menyiram tanaman. Selain itu orang Arab juga dikenal sebagai pedagang. Sering melakukan perjalanan melintasi padang pasir yang gersang dan tandus untuk menjajakan barang perti Arab.
Jadi bayangkanlah orang sedang berjalan jauh di tengah padang pasar yang panas terik, lalu di tengah perjalanan mereka menemukan taman, penuh tanaman hijau dan sungai yang mengalirkan air yang deras. Pastinya menjadi sesuatu yang menakjubkan. Tetapi itu tidak akan terjadi. Hanya ada di alam imajinasi. Bila pun ada, paling juga kecil hanya berbentuk oase. Bahkan banyaknya hanya fatamorgana saja.
Taman bagi orang arab adalah kemewahan dan kesenangan yang tidak bisa dibayangkan. Karena disana tidak akan bisa membuat taman. Jangan bandingkan arab dahulu dengan arab sekarang yang sudah bisa membangun menara tertinggi di dunia. Jangankan di Arab yang tandus, orang Bandung saja yang katanya daerah dingin, dekat gunung, air melimpah, masih banyak pohon, ketika Walikotanya merehab taman-taman kota, warganya gembira bukan main.
Jadi dengan deskripsi surga seperti itu, Tuhan seolah mengingatkan kepada manusia bahwa kalau manusia hidup di dunia ini mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan, maka di akhirat nanti kamu akan mendapatkan kesenangan dan kemewahan yang tidak pernah bisa kamu bayangkan dan tidak pernah ada di bumi ini sebelumnya. Begitu kira-kira maknanya. Tetapi makna itu tidak akan pernah kita dapatkan kalau kita tidak mencoba rasional. Memberdayakan kepala kita seoptimal mungkin mencari-cari maksud Tuhan.
Dalam konteks lain misalnya ketika Nabi mengatakan aljannah tahta aqdaami ummahatikum, surga itu letaknya dibawah telapak kaki Ibu mu. Masuk akal gak sih surga ada dibawah telapak kaki Ibu?Bagaimana kalau Ibu kita korengan atau kakinya buntung?Ternyata kan kalau kita eksploitasi otak kita, ini tidak ada kaitannya dengan kaki buntung atau kaki korengan. Ini adalah tentang penghormatan dan kepatuhan kita kepada seorang Ibu.
Lah, lalu bagaimana kalau kita sudah berupaya memahami ayat Tuhan itu lalu kita belum menemukan jawabannya?Bila ada yang bertanya seperti itu, maka ada pertanyaan balik. Apakah sesuatu yang tidak bisa dimaknai otak kita berarti sesuatu itu tidak ada atau tidak benar?