Ini cerita mashur. Tentang orang Badui dan untanya. Suatu hari seorang Badui pergi ke masjid dengan menaiki Unta. Di depan masjid, Badui tersebut melepas begitu saja untanya. Seolah tidak takut kabur atau dicuri. Ketika ditanya Nabi kenapa unta nya tidak diikat, si Badui menjawab ringan ; "Saya serahkan semuanya sama Allah". Nabi tersenyum dan mengingatkan orang Badui tersebut. Kata Nabi, ikatlah dahulu unta itu. Setelah itu baru serahkan semuanya pada Allah.
Kira-kira seperti itulah semestinya menyikapi tragedi di Mina. Ada sesuatu yang harus kita pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Pada sisi lain banyak hal juga yang menjadi wilayah tanggung jawab kita sebagai manusia yang harus dituntaskan.
Menghadapi kejadian yang sudah berlalu, kita hanya pasrah pada Tuhan. Apakah ini cobaan, ujian, atau adzab, mari pasrahkan pada yang diatas. Kita hanya mesti memelihara husnudzan kalau dibalik tragedi ini pasti ada sesuatu. Itu saja. Dan secara psikologis, husnudzan tidak hanya membangun optimisme, juga cara pandang yang lebih positif.
Meletusnya sebuah gunung pastinya menimbulkan kesusahan dan kesedihan. Tetapi siapa yang menyangkal, kalau sesudah itu ada kemakmuran dan kesenangan dalam waktu yang panjang. Ditambah kemaslahatan bagi orang yang lebih banyak. Nyamuk itu memang menjengkelkan. Tapi siapa yang menyangkal kalau itu menjadi sumber kehidupan bagi makhluk lain, memaksa kita untuk hidup bersih. Lalu bukankah nyamuk sudah menginspirasi orang hingga orang menjadikannya sumber rizki dengan memproduksi obat nyamuk.
Begitu juga menyikapi tragedi Mina. Kita hanya tinggal pasrah dan berhusnudzan pada yang diatas. Hanya Allah yang tahu kenapa tragedi tersebut bisa terjadi dan apa maksud dibalik tragedi tersebut.
Tidak ada diantara kita yang bisa memvonis bahwa korban itu pasti syahid atau mereka menjadi korban karena hajinya tidak mabrur dan suka membuat kejahatan. Kita hanya berhusnudzan dan berdoa semoga yang meninggal itu diterima iman dan Islam nya oleh Yang Maha Kuasa. Lalu berharap bahwa kita akan meninggal seperti doa kita terhadap orang yang meninggal tersebut. Itu saja.
Tetapi bahwasannya ini bencana yang menimbulkan korban banyak, mesti tetap ada investigasi untuk mengetahui kekeliruannya dimana. Bila sistem yang keliru, dimanakah kekeliruan nya. Lalu apa rencana perbaikannya dan kapan akan tuntas?Bila disebut human error, human manakah yang error?Penyelenggara kah atau jamaah?Apa penyebab error nya?Lalu apa sanksi terhadap yang membuat kekeliruan dan apa antisipasi ke depan nya?
Siapa dan apa yang salah, mesti dicari dan ditemukan. Setelah itu diperbaiki supaya kekeliruannya tidak terulang kembali. Karena ini kaitannya dengan perbaikan manajemen haji yang merupakan domainnya kita sebagai manusia. Masalah apakah setelah perbaikan manajemen masih tergantung pada perkenan Allah, mari kita tuntaskan dulu ikhtiarnya.
Kita mesti ingat, sepanjang 25 tahun terakhir, ini adalah tragedi Mina yang ke 8 kalinya. Tahun 1990 kita masih ingat lebih dari 1.700 orang meninggal karena berdesakan di terowongan Mina. Lalu kenapa ini bisa terus berulang?Tidak cukupkah sekian ribu korban menjadi bahan pelajaran?
Penataan manajemen penyelenggaraan haji itulah yang dimaksud Nabi dengan mengikat tali unta supaya untanya tidak kabur. Kalau kita ditanya kenapa kecelakaan terjadi, lalu kita jawab kalau itu sudah kehendak Allah, saya khawatir dengan jawaban seperti itu kita seolah-olah sedang menyalahkan Allah. Karena semua terjadi disebabkan Allah