HU Republika Sabtu 25 April
Hillary dan Norgay
Edmund Hillary. Siapa tidak mengenal nama ini. Utamanya para pendaki gunung. Hillary adalah legenda. Dialah orang pertama dunia yang menginjakan kakinya di puncak gunung tertinggi dunia : Mount Everest. Gunung di ketinggian 29 ribu dpl pada 29 Mei 1953 di pegunungan Himalaya
Ditaklukan setelah Perang Dunia II, tak pelak pendakian Hillary menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa di dunia. Menaklukan pegunungan Himalaya bukan hal mudah. Selain membutuhkan perhitungan matang, juga dibutuhkan mental kuat. Sehingga dalam berbagai kesempatan Hillary mengingatkan “It’s not the mountain we conquer but ourselves”.
Dunia pun menghargainya. Meski berasal dari New Zealand, Ratu Elizabeth II Inggris menganugrahkan gelar Sir (bangsawan) bagi Hillary. Gelar yang bermakna keberanian dan dedikasi bagi penerimanya. Lalu Perdana Menteri New Zealand ketika itu, Helen Clark, merasa perlu untuk mengumumkan kematian warganya ini.
Tetapi adakah dunia langsung ingat seseorang bila disebut nama Tenzing Norgay. Meskipun orang sudah mengetahui nama Hillary, sedikit yang mengetahui nama Norgay. Padahal Hillary dan Norgay adalah sekeping mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Norgay adalah pendaki dari Nepal. Orang Nepal menyebutnya sebagai Sherpa atau pemandu. Dialah yang memandu Edmund Hillary ketika menginjakan kakinya untuk pertama kali di Mount Everest. Sebagai seorang pemandu, Norgay tidak berjalan di sebelah apalagi di belakang Hillary, tetapi dia berjalan di depan Hillary. Karenanya sangat wajar bila sebetulnya orang yang pertama kali berpeluang menginjakan kakinya di Mount Everest adalah Norgay bukan Hillary.
Ketika Hillary dan Norgay satu langkah lagi mencapai puncak gunung, Norgay mempersilahkan Hillary untuk menginjak terlebih dahulu puncak. Lalu ketika wartawan menanyakan kenapa dia melakukan itu, Norgay menjawab ringan. Karena menaklukan everest itu impian Hillary bukan impiannya. Impiannya hanyalah ingin berhasil membantu mengantarkan Hillary meraih impian
Pidato Jokowi dan Ghost Writer
Rabu 22 April 2015 Presiden Jokowi berpidato di acara pembukaan Konfrensi Asia Afrika. Jokowi mengkritik keras keberadaan lembaga dunia seperti IMF, ADB, juga PBB. Menurutnya ketiga institusi itu tidak berdaya dalam menangani ketidakadilan global dan pandangan yang menyebutkan bahwa problem ekonomi dunia bisa diselesaikan oleh lembaga tersebut adalah pandangan usang.
Apresiasi tidak hanya datang dari pemimpin dunia, tetapi juga pemimpin nasional. Pimpinan legislatif yang biasanya kritis, sekarang mengapresiasi. Memang ada suara-suara sumbang yang menganggap isi pidato sudah usang, klise, lipstick dan sudah menjadi pengetahuan umum. Terlebih ketika Jokowi tidak merumuskan lebih detail agenda berikutnya. Tapi biarlah itu terjadi. Tidak ada yang tidak sempurna. Terlebih ketika kita sepakat untuk membangun demokratisasi komunikasi maka suara-suara sumbang absyah dan mesti muncul
Sayangnya terjadi perdebatan diluar substansi. Muncul perdebatan tentang person penyusun naskah pidato. Ironisnya adalah ternyata pihak istana sendiri yang memicu perdebatan itu sendiri dengan secara jelas menyebut nama-nama penyusun naskah pidato. Menseskab, yang pekerjaan kesehariannya sangat lekat dengan Presiden, menyebut nama satu persatu tentang siapa saja yang terlibat dalam penyusunan naskah pidato Presiden
Disinilah masalah baru muncul. Masalah tentang bagaimana seharusnya lingkaran istana memperlakukan Presiden dan bagaimana seharusnya masyarakat melihat Presiden. Di satu sisi beberapa kelompok masyarakat mendapat justifikasi kembali untuk mempertanyakan aspek intelegensi Presiden. Sementara sisi lain lingkaran istana tidak bisa memposisikan diri tentang bagaimana seharusnya menyikapi hal ini.
Siapapun kepala pemerintahan di Indonesia dan di level manapun mereka berada, mereka akan selalu membutuhkan Ghost writer untuk menyusun naskah pidatonya. Dan ini bukan salah benar dan bukan hal yang perlu dibicarakan apalagi diperdebatkan. Ini hal lumrah mengingat begitu banyaknya pekerjaan yang harus dituntaskan kepela pemerintah.
Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun saja mesti mengumpulkan banyak tokoh politik, budayawan dan pakar bidang hukum, agama dan politik untuk membantunya menyusun naskah pidato pengunduran diri yang hanya terdiri dari beberapa paragraph saja. Apalagi Jokowi yang baru setahun menjadi Presiden. Terlebih Presiden kita ini sudah mengakui kalau Perpres yang hanya tinggal ditanda tangan saja tidak sempat dibaca apalagi mesti menyusun naskah pidato sendiri.
Sementara itu ghost writer tetaplah ghost writer. Dia mesti tetap menjadi “ghost” meskipun pidatonya diapresiasi atau dikritisi. Eksistensi dan kapasitas seorang ghost writer bukanlah ketika statusnya dari “ghost” yang tidak terlihat menjadi orang yang terlihat dan terungkap. Eksistensi nya dihargai ketika statusnya tetap menjadi “ghost”.
Seperti Hillary dan Norgay, dunia tetap mengapresiasi Hillary sebagai orang pertama yang menginjak puncak Everest. Meskipun Norgay berada lebih selangkah di depannya. Norgay pun tidak pernah kurang penghormatan orang terhadapnya. Kemuliaan keduanya adalah ketika mereka berperan maksimal di posisi masing-masing. Begitulah Presiden beserta ghost writernya. Ironisnya hal inilah yang kemudian tidak dijaga oleh lingkaran istana sendiri. Orang-orang yang mesti concern menjaga Presiden.
Pasir Di Kaki Dan Musuh Politik Jokowi
Suatu kali Hillary ditanya wartawan tentang apa yang paling ditakutkannya ketika menjelejah alam. Hillary menjawab kalau dia tidak pernah takut pada binatang buas, jurang yang curam, bongkahan es raksasa atau padang pasir luas dan gersang. Tetapi dia sangat takut pada sebutir pasir di sela-sela jari kaki.
Sebutir pasir yang masuk di sela-sela jari kaki sering menjadi awal malapetaka. Dia akan masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama jari kaki terkena infeksi lalu membusuk. Lalu tanpa sadar kaki pun tidak bisa digerakan. Setelah itu dia tidak bisa berjalan dan mesti ditandu. Itulah awal malapetaka bagi seorang penjelajah
Lupakan Prabowo atau KMP. Karena mereka lawan politik yang jelas. Mudah mendeteksi manuver lawan yang jelas. Tetapi Jokowi harus kembali intens konsolidasi internal. Faktanya dari mulai Jokowi dilantik sampai sekarang, konflik politik internal lah yang dominan terjadi. Mulai dari penyusunan kabinet yang tidak sesuai dengan janji kampanye, haluan kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan nawacita, penetapan Kapolri dan perseteruan antara KPK-Polri sampai dengan Perpres tunjangan transportasi pejabat.
Ada banyak pasir kecil di kaki Jokowi dimana itulah musuh politik Jokowi yang berpotensi membuat Jokowi tidak bisa berjalan lagi dan mesti ditandu. Dan hal ini sudah terlihat dari bagaimana istana menyikapi pidato politik Jokowi
Delianur
Alumni Fikom Unpad
Pemerhati Komunikasi Politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H